Oleh: Nasrudin Joha
PDIP termasuk partai dengan tingkat manuver politik paling payah. Terbukti, pada pemilu 2014 meskipun suara PDIP tertinggi, namun porsi jabatan ketua DPR – RI ternyata keok direbut Golkar.
Golkar dibawah ichal, untuk pertama kali cukup lama mengambil posisi oposisi pasca kekalahan Prabowo – Hatta melawan Jokowi – JK. Dengan mengajak PKS, PAN dan GERINDRA, Golkar mampu ‘menculik’ posisi jabatan ketua DPR RI dengan manuver mengubah ketentuan pemilihan pimpinan DPR RI melalui perubahan UU MD3.
Paket pimpinan DPR – RI yang diusung Golkar, tidak terbendung. PDIP hanya mampu ‘ngamuk’ dan walk out, menangis meraung raung melihat posisi jabatan ketua DPR RI luput dari tangannya.
Praktis, meski PDIP menguasai eksekutif dalam beberapa keadaan PDIP dibuat pusing juga oleh manuver Golkar. PDIP mencoba ‘menggoyang’ Golkar yang kala itu berseteru antara kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie.
Golkar termasuk partai yang cepat sadar dikerjai, dan segera mengambil opsi merapat untuk mengamankan posisi. Bahkan, merapatnya Golkar juga berbuah manis. Dua jabatan menteri menjadi kapling Golkar, setelah sebelumnya berseteru dengan PDIP sebagai oposisi.
PPP dan hanura, adalah dua partai korban Devide At Impera PDIP, melalui otoritas kemenkumham. PDIP, bisa mengontrol kubu mana yang akan diakomodir dengan menerbitkan SK pengurus partai yang sah. Bagi partai, tanpa SK kemenkumham berarti tidak eksis, tidak bisa ikut pemilu, tidak bisa ikut berebut jatah kekuasaan.
Demikianlah, apa yang terjadi pada PPP dan hanura. Keadaan ini, oleh rezim PDIP juga diterapkan pada kasus HTI. HTI dicabut BHP nya dengan harapan akan mati. Nyatanya ? HTI tidak terlibat perebutan kekuasaan, HTI hanya ingin berdakwah sehingga dengan atau tanpa di BHP tidak menghalangi bagi HTI untuk terus berdakwah.
Kembali ke PDIP, saat Jokowi keok Pilpres -dalam waktu yang tidak lama lagi, insyaAllah- maka seluruh koalisi partai yang dibangun akan hengkang, bedol deso meninggalkan PDIP.
Keadaan ini sama persis dengan saat Pilpres 2004, ketika Mega kalah oleh SBY, kubu partai koalisi PDIP nyebrang ke SBY. Tercatat, PAN, PPP, PKB langsung merapat ke kubu SBY.
Pada era ini, tidak menutup kemungkinan jika PPP dan PKB akan mengulangi peristiwa 2004 meninggalkan PDIP. Adapun PAN, sejak awal telah mengambil opsi melawan PDIP.
Golkar, partai ini paling tidak dapat dipegang kesetiaannya. Golkar tidak terikat dengan koalisi, Golkar hanya terikat kepentingan dan kekuasaan. Saat Jokowi keok Pilpres, mudah sekali bagi Golkar berdalih ‘atas nama rakyat’ untuk menyebrang meninggalkan PDIP. Apalagi, secara historis Gerindra memiliki hubungan lebih dekat dengan Golkar karena faktor Prabowo yang dulu kader Golkar.
Hanura ? Partai ini tidak perlu dihitung. Pemilu 2019 adalah ajang untuk menghapus eksistensi hanura, dipastikan hanura tidak akan lolos PT. Perindo ? Jika perindo bisa menyeberang ke Jokowi karena kepentingan, bukan mustahil Perindo juga akan meninggalkan Jokowi karena kepentingan pula.
Nasdem ? Partai ini akan bermetamorfosis untuk mengunggah restorasi baru, yakni meninggalkan Jokowi dan cari posisi yang menyenangkan. Itu biasa dalam politik.
Jadi bagaimana nasib PDIP ? Menyedihkan sekali. Dipastikan suara PDIP berkurang signifikan karena isu partai penista agama. PDIP kehilangan dua porsi sekaligus, eksekutif dan legislatif. Kemungkinan, PDIP akan kembali menjadi Anjal yang rajin berdemo untuk meraih simpati. Selamat datang Oneng, dirimu akan kembali rajin berdemo karena posisi PDIP akan kembali menjadi oposisi, sendirian.
Belum lagi, bayangan balas dendam kepada PDIP yang dianggap kasar secara politik, sangat mungkin dilakukan oleh partai pemenang, penguasa pemenang. Beberapa petinggi partai, dan lini kekuasaan yang zalim ketar-ketir menunggu hari pembalasan. PDIP ? Dipastikan MADESU. (*)