SALAH satu hal yang paling membosankan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir adalah menyimak hasil survei lembaga survei politik yang bekerja sesuai pesanan.
Kenapa demikian? karena lembaga-lembaga ini tidak jelas kredibilitasnya dan tidak jelas hasil kerja profesionalnya. Bukan karena kegiatan survei tidak bisa dijadikan acuan ilmiah, tapi cara kerja para lembaga inilah yang patut dipertanyakan.
Hal dasar yang harus dipahami adalah lembaga-lembaga ini bukan lembaga sosial yang sukarela bekerja sosial untuk kepentingan publik. Mereka semua adalah lembaga yang hadir mencari laba, yaitu mencari keuntungan dari proses survei yang mereka lakukan. Karena apa, karena kegiatan surveinya, analisanya dan konsultasinya tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah.
Lembaga-lembaga ini tak lebih dari perusahaan-perusahaan biasa lainnya, butuh biaya operasional dan memang mencari keuntungan dari proses produksinya.
Mari kita lihat sejenak hasil Pilkada 2018 yang terjadi di Jawa Tengah. Pasangan Sudirman-Ida menurut hasil akhir yang disampaikan KPUD Jawa Tengah meraih total suara 7.267.993 suara pemilih atau setara dengan 41,22% suara pemilih.
Mereka memang kalah, tapi mari kita lihat hasil survei beberapa lembaga survei pesanan kepentingan politik yang menyampaikan opini mereka sebelum pemilihan Pilkada Jawa Tengah dilaksanakan. LSI Denny JA menyatakan pemilih Sudirman-Said nantinya hanya akan sekitar 13 persen suara pemilih. Indobarometer menyatakan hanya 21,1 persen. Charta Politika hanya 13,6 persen, SMRC 22,6 persen, Litbang Kompas 15 persen dan Indikator 21 persen.
Semua hasil kajian lembaga-lembaga ini melenceng jauh, bahkan sangat jauh dan sama sekali tidak layak dinyatakan sebagai kegiatan survei berbasis ilmiah.
Kenapa demikian? karena survei bukan dilakukan untuk memetakan bagaimana fakta persepsi pemilih sesungguhnya sebelum pemilihan dilakukan. Tapi survei dilakukan sesuai dengan kepentingan pihak yang memesan survei agar dibangun persepsi seolah yang disukai dan akan dipilih oleh publik adalah pasangan calon tertentu. Untuk apa? tentu saja agar pemilih yang masih ragu-ragu atau belum memutuskan pilihan, terjebak untuk ikut memilih pasangan yang diopinikan seolah-olah lebih disukai oleh masyarakat banyak.
Beberapa hari lalu salah satu lembaga yang telah disebut di atas menyampaikan kepada publik seolah bahwa benar petahana pemilu presiden menurun elektabilitasnya, tapi masih tetap lebih tinggi dari lawannya. Sangat patut diduga ini adalah bentuk framing atau penggiringan persepsi.
Hari ini kita melihat dengam terang benderang, ke mana pun Prabowo dan Sandiaga Uno hadir, massa datang membludak dan kehadiran mereka atas biaya sendiri atau kelompok kecil sesama pendukung yang berteman baik. Tidak ada mobilisasi massa yang dilakukan oleh panitia penyelenggara.
Hal yang bertolak belakang dengan kehadiran Jokowi dan Maruf Amin yang kerap sepi walau panitia telah melakukan upaya mobilisasi kehadiran massa. Lalu bagaimana hal kasat mata ini bisa berbanding terbalik dengan hasil survei? Framing!
Artinya apa? Artinya semua lembaga abal-abal ini masih terus berupaya mengirim pesan ke publik, bahwa atas pesanan pembayar kegiatan survei mereka, mereka diminta untuk terus mengabarkan pasangan calon tertentu masih unggul walau kenyataannya tidak.
Dan jangan heran kalau satu hingga tiga minggu lagi, akan keluar hasil survei yang menyatakan bahwa ternyata hasil survei terbaru menyatakan sang pemesan survei meningkat drastis kembali pemilihnya. Namanya juga lembaga abal-abal, hasil kerjanya pastilah abal-abal dan sesuai pesanan. []
Direktur Strategi Indonesia [rmol]