Oleh Acep Iwan Saidi (Staf pengajar ITB)
Himbauan petahana Joko Widodo dalam berbagai kesempatan kampanye kepada para pendukungnya agar mengenakan baju putih pada hari pemilihan (17/04/19), mengundang persoalan tersendiri. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Publik pemilih “dipaksa” untuk menunjukkan pilihannya sebelum mereka memilih. Prinsip Langsung Umum Bebas, dan RAHASIA (Luber) menjadi ternodai. Ini juga bisa menumbuhkan bibit perpecahan pada hari pemilihan.
Di sisi lain, himbauan tersebut sebenarnya bisa menjadi bumerang bagi Jokowi sendiri. Sebab mungkin saja nanti orang memakai baju putih, tapi bukan untuk memilih pasalangan calon (paslon) 01, tapi justeru untuk mengelabuinya. Selain itu, baju putih juga bukan hanya “milik” atau identik dengan Jokowi. Berikut perspektif semiotika terhadap warna ini.
Dalam semiotika Peircian, putih adalah tanda kepertamaan (firstness). Ia adalah qualisign, sesuatu yang baru berpotensi sebagai tanda, belum menjadi tanda itu sendiri. Ia akan menjadi tanda yang menunjuk ke referen spesifik (sinsign) jika telah berelasi dengan elemen lain atau membentuk konfigurasi tertentu. Dan ia menjadi betul-betul tanda (legisign) jika telah (secara logis) duduk di dalam konteks atau argumen tertentu.
Di dalam konteks Islam, misalnya, warnah putih memiliki makna ketika ia menjadi warna pakaian (banyak hadis nabi yang menjelaskan hal ini). Namun demikian, di dalam kultur Indonesia, tafsir desainnya menjadi spesifik. Baju putih memiliki pesan Islami ketika ia, misalnya, didesain sebagai baju koko. Kemeja putih tidak lantas bermakna Islami. Desain kemeja putih justeru identik dengan kultur di luar Islam, setidaknya ia berasal dari Eropa.
Bagaimana dengan “putih Jokowi”? Baju putih yang identik dengan Jokowi adalah kemeja putih yang dipakai dengan cara dilipat bagian ujung lengannya, tidak dimasukkan ke dalam celana, dan biasanya dipadu dengan celana hitam dari kain atau jeans. Lain dari bentuk ini, baju putih bersifat netral.
Mengenai koko putih, apakah ia identik dengan Ma’ruf Amin? Tidak juga. Fesyen Islami Ma’ruf Amin adalah fesyen Islam Nahdatul Ulama. Paduan atau kombinasinya adalah peci hitam, sarung, dan sorban (biasanya sorban berwarna hijau). Katakanlah ini visualisasi Islam Nusantara. Jika tidak begini, ia di luar “jangkauan politis” Amin atau paslon 01.
Jika koko dipadu dengan peci putih (topi haji), misalnya, kesannya justeru akan sebaliknya dari paslon 01, yakni menjadi milik paslon 02. Perhatikan fesyen ulama dan santri 212. Secara umum, mereka tidak memakai peci hitam. Sebagian malah memakai gamis meskipun segelintir ada juga yang memakai sorban hijau (sebab banyak aktivis 212 juga dari NU). “Putihkan Monas”, adalah metafora milik 212, yang visualisasi dan sintaksis fesyennya koko putih yang dipadu dengan peci putih (dalam berbagai bentuk).
Walhasil, baju putih tidak bisa disederhanakan dengan mengidentikannya kepada Jokowi atau paslon 02. Kompleksitas asosiasi maknanya, sekali lagi, bisa menjadi bumerang bagi Jokowi pada hari pencoblosan nanti.
Oleh sebab itu, sebaiknya himbauan tersebut tidak perlu dilakukan. Terlalu naif, kecuali jika paslon 01 ingin disebut sebagai kubu yang sedang galau—jika tidak mau disebut panik. Sebab secara semiotis himbauan tersebut dapat menjadi tanda indeksikal dari kehendak untuk bisa cepat melihat pemilihnya sebelum mereka memilih: tidak sabar dan takut kalah. (*)