GELORA.CO - Manuver politik Erwin Aksa bukan hal baru di tubuh Partai Golkar. Saat Pilpres 2014 juga pernah terjadi.
Kala itu, beberapa politisi Golkar seperti Agus Gumiwang Kartasasmita dan Nusron Wahid memilih mendukung Joko Widodo-M. Jusuf Kalla. Padahal Golkar sendiri mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Hal sama diperlihatkan Erwin di Pilpres 2019 ini dengan menyebrang ke pasangan calon nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga Uno.
"Sebenarnya tidak terlalu berpengaruh karena Golkar itu sudah biasa. Dulu juga begini, kan," ujar Ujang, Kamis (21/3).
Ujang mengatakan, kader berbeda pilihan dalam Pemilu sepertinya sudah menjadi gaya politik beringin. Dugaan dia, ini strategi Golkar untuk mengamankan posisi jika pilihan politik formalnya gagal menang.
Dengan keberadaan Erwin di kubu Prabowo dan partai secara formal berada di kubu Jokowi, Golkar bisa lebih mudah mengamankan kekuasaan.
Dia menganalogikannya dengan istilah "Jangan simpan telur di keranjang yang sama".
"Ketika Erwin Aksa ada di Prabowo atau Pak Jusuf Kalla di Jokowi, siapapun katakanlah yang menang kan (Golkar) aman," kata Ujang.
Ujang mengingatkan yang terjadi pada Golkar juga dilakukan oleh politisi senior. Banyak politisi senior yang menjadi kepala daerah dan menjadi pimpinan cabang menempatkan keluarganya di partai lain.
Misalnya, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo yang menjadi politisi Nasdem dan anaknya di PPP. Ada pula mantan Gubernur Banten Ratu Atut sebagai politikus Golkar, tapi anaknya di PDI Perjuangan.
"Jadi begitu satu kalah, yang satu menang. Yang satu kalah, yang satu menang. Dan memang itu selalu aman dan bagian dari strategi yang sah tidak melanggar undang-undang," ujarnya.
Selain untuk kepentingan partai, Ujang menilai dukungan yang diberikan Erwin kepada Prabowo-Sandi bisa terjadi karena kepentingan pribadinya tidak terakomodasi partai.
Ia menyebut Erwin sempat bakal dipromosikan menjadi wakil gubernur DKI Jakarta menggantikan Sandiaga yang maju menjadi cawapres. Sementara jatah Wagub DKI merupakan milik PKS.
"Di politik, siapapun politisi jika tidak nyaman bekerja atau tidak terakomodir pasti akan pindah pilihan. Itu hal yang wajar dan terjadi di setiap Pilpres dan pemilu, serta berlaku pada politisi," ujarnya. [rmol]