Oleh Nasruddin Djoha
Badan Kesehatan Dunia WHO dan Departemen Kesehatan perlu menerapkan status baru: Ngibul itu merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Khusus menjelang pilpres, statusnya harus ditingkatkan menjadi kejadian luar biasa (KLB).
Pengakuan PM Malaysia Mahathir Mohammad bisa menjadi dasar penetapan penyakit ngibul menjadi KLB. Masyarakat, terutama politisi dan capres harus benar-benar waspada. Bayangkan saking seriusnya penyakit ngibul sampai membuat pemimpin senior negeri jiran itu harus membuat jumpa pers.
Mahathir membantah pernah dilobi Pemerintah Indonesia untuk membebaskan Siti Aisyah, WNI yang dituduh membunuh Kim Jong-nam, saudara tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.
"Saya tak dapat maklumat (saya tidak tahu ada lobi)," kata Mahathir dalam konferensi pers di Parlemen Malaysia, Selasa (12/3).
Pembebasan Siti Aisyah, kata Mahathir adalah keputusan yang diambil pengadilan. Proses pencabutan tuntutan sudah sesuai aturan.
"Ini keputusan yang diambil pengadilan. Dibicarakan dan tuntutan itu ditarik kembali. Jadi suatu proses yang mengikuti undang-undang. Ada hak bagi jaksa menarik kembali tuntutan, itu lah yang dilakukan," tegasnya.
Mahathir menyatakan hal itu menanggapi pernyataan Menkumham Jasonna Laoly bahwa bebasnya Siti Aisyah berkat lobi-lobi yang dia lakukan kepada pemerintah Malaysia termasuk Mahathir.
"Saya sudah bertemu PM Mahatir ketemu Jaksa Agung. Dalam surat kami kami minta kepada Jaksa Agung Malaysia untuk membebaskan beliau,“ ujar Laoly di Bandara Halim Perdanakusuma menyambut kedatangan Siti Aisyah.
Ada tiga alasan kata Laoly mengapa Siti Aisyah harus dibebaskan dari hukuman. Pertama, Siti Aisyah melakukan untuk kepentingan reality show. Kedua Siti Aisyah dikelabui. Ketiga, dia sama sekali tak dapatkan keuntungan dari apa yang dilakukannya.
Dari Bandara Halim Siti Bersama keluarganya kemudian diajak menemui Presiden Jokowi di Istana Presiden. Media menggambarkan Siti Aissyah sampai mencium tiga kali tangan Jokowi sebagai ucapan terima kasih.
Siapa yang benar Mahathir atau Laoly? Kalau melihat track recordnya, publik pasti lebih percaya kepada Mahathir. Negarawan senior itu merupakan jaminan mutu. Laoly tidak sebanding kalau harus dijejerkan dengan Mahathir. Dia pernah diselidiki KPK dalam kasu Korupsi e-KTP.
Reputasi Jokowi lebih parah. Kredibilitasnya banyak dipertanyakan. Dia dipersoalkan media dan LSM karena banyak mengumbar data yang salah pada debat kedua. Dia juga sering mengklaim sesuatu yang tidak dilakukan.
Seorang wartawan asing John McBeth sudah jauh hari menengarai perilaku Jokowi ini. McBeth menyebut Jokowi tukang sulap yang menggunakan tipuan smoke and mirrors (asap dan kaca).
Penegakan hukum di Malaysia sejauh ini relatif lebih tegas. Mantan PM Tun Nadjib Razak saat ini tengah menghadapi tuduhan korupsi jutaan dolar dan bersiap ke persidangan.
Mencampuri keputusan pengadilan implikasinya sangat serius. Skandal politik bisa berujung impeachment. Pemerintahan Mahathir bisa jatuh.
Malaysia beda dengan Arab Saudi. Sistem hukum Malaysia tidak mengenal uang diyat. Seorang pelaku pembunuhan bisa bebas asal mendapat pengampunan keluarganya dan membayar uang denda darah.
Bagi Laoly dan Jokowi, bebasnya Siti Aiyah ini bisa menjadi jualan baru jelang Pilpres. Jokowi saat ini tak punya modal kuat untuk jualan kampanye. Berbagai janji politik dan klaim pembangunannya tidak terbukti.
Dengan berhasil membebaskan Siti Aisyah, Jokowi bisa berbangga. Dia tak kalah dengan Prabowo.
Pada bulan Agustus 2015 seorang TKI wanita asal NTT Wilfrida Soik dibebaskan pengadilan Malaysia. Dia dituduh membunuh majikannya dan terancam hukuman mati.
Prabowo turun tangan. Dia membayar pengacara terbaik dan menugaskannya membantu Wilfrida bertarung di pengadilan. Dana tersebut berasal dari kantong pribadinya. Tidak ada lobi-lobi politik yang dilakukan. Padahal Prabowo banyak mengenal dan bersahabat dengan petinggi Malaysia, termasuk PM Tun Nadjib Razak. Dia menghormati sistem hukum negara lain.
Wilfrida bebas. Tidak ada kepentingan Prabowo mengeksploitasi dan mengkapitalisasinya untuk kepentingan pencitraan. Saat itu Prabowo baru saja kalah bertarung lawan Jokowi pada Pilpres 2014.
Dari kasus ini saja kita bisa langsung membuat perbadingan, bagaimana kualitas dua capres yang saat ini tengah bertarung. (*)