Oleh: Asyari Usman*
Kemarin (23/3/2019) di Jogjakarta, Presiden Jokowi menunjukkan kemarahannya. Dengan nada serius, di depan massa yang cukup besar. Kita tidak perlu membahas apakah mereka itu massa kerahan atau massa tulus-ikhlas.
Jokowi mengatakan, setelah dia diam saja selama empat setengah tahun dihujat, dihina, direndahkan, difitnah, dlsb, “Tetapi hari ini di Jogja, saya sampaikan, saya akan lawan.”
Banyak sekali tafsiran tentang marah Jokowi itu. Pertama, ada yang berpendapat bahwa dia sedang frustrasi berat karena menghadapi kenyataan di lapangan. Kenyataan bahwa rakyat menginginkan Prabowo Subianto (PS) menjadi presiden. Prabowo dan Sandi disambut di mana-mana dengan tulus-ikhlas dan semangat tinggi. Di mana-mana, di seluruh Indonesia, selalu saja acara PS membludak. Juga acara Sandi.
Kedua, ada pula yang berpendapat bahwa kemarahan Jokowi itu, sebetulnya, diarahkan kepada tim kampanye beliau. Sebab, tim kampanye yang diketuai oleh anak muda pintar sekaligus pengusaha sukses, Erick Tohir, gagal menjual Jokowi kepada rakyat. Padahal, untuk masyarakat disediakan segala kemanjaan asalkan mereka mau mendukung Jokowi. TKN memang gagal total. Tapi, kegagalan itu tampaknya bukan salah mereka.
Mereka sudah melakukan semua hal. Apa saja diterapkan untuk membujuk rakyat. Mulai dari cara yang paling persuasif sampai ke cara yang sangat tidak persuasif. Mulai dari cara yang baik sampai ke cara yang kelihatannya baik. Tidak ada yang belum dilakukan oleh TKN.
Jokowi bahkan dibantu oleh berbagai instansi negara yang seharusnya netral. Kita bisa lihat dengan jelas di lapangan bagaimana berbagai instansi itu berjuang untuk kemenangan Jokowi. Misalnya, salah satu instansi yang punya struktur jangkauan sampai ke pelosok desa. Mereka mati-matian membantu petahana. Mulai dari cara yang lembut sampai cara yang kelihatan lembut. Tetapi, rakyat tetap saja tak beranjak. Mereka teguh mendukung Prabowo-Sandi.
Yang ketiga, ada yang mengatakan bahwa Jokowi marah-marah di pentas Jogja kemarin sebagai isyarat kepada semua bawahannya. Isyarat agar segera menafsirkan kemarahan beliau itu. Dalam arti, agar segera melakukan perlawanan.
Pertanyaannya, siapa yang mau dilawan oleh Jokowi? Dan bagaimana cara melawannya?
Ini yang sangat berbahaya. Sangat berbahaya kalau para bawahan Presiden yang relevan dengan implementasi kemarahan itu, menafsirkan dengan cara mereka sendiri. Kita cermati analogi berikut ini. Seorang majikan yang marah kepada seseorang dan mengatakan kepada staf sekuritinya supaya “membereskan” persoalan itu, bisa macam-macam yang akan terjadi. Kalau rekam jejak si sekuriti selama ini terbiasa “membereskan” persoalan dengan cara jalanan, dikhawatirkan dia akan melakukan itu sebagai tafsiran dari perintah si majikan.
Nah, dalam konteks marah-marah di Jogja kemarin, majikan itu adalah Presiden. Sedangkan sekuriti beliau banyak sekali. Ada Polri, ada BIN, ada TNI, dan ada pula barisan-barisan swasta yang merasa hadir sebagai pagar betis Presiden. Bisa dibayangkan kalau pernyataan “saya akan lawan” yang dicetuskan Jokowi itu ditafsirkan oleh organ-organ sekuriti Presiden tadi dalam makna “save the president” (selamatkan presiden). Bisa sangat runyam.
Paling-paling rakyat masih yakin bahwa TNI tidak akan teperangkap ke dalam tafsiran yang berbahaya terkait “saya akan lawan” yang diucapkan Jokowi. Sebab, sejak awal berdiri negara ini, TNI senantiasa menunjukkan kesetiaannya kepada rakyat dan NKRI. Mereka hidup dalam suka dan duka bersama rakyat.
Kita tidak bisa menduga bagaimana nanti instansi-instansi sekuriti Jokowi selain TNI akan mengimplementasikan perintah “saya akan lawan” itu. Dan yang kita juga tidak bisa duga serta sangat berbahaya adalah cara barisan-barisan swasta, yang setia pada Jokowi, menafsirkan kemarahan Presiden itu.
Jadi, stetmen Jokowi di Jogja kemarin sangat serius. Sebab, kalau Presiden marah berbeda dengan Anda marah. Awas!
*) Penulis adalah wartawan senior