Oleh: Sudirman Said
Agak tidak biasa, seorang intelektual dan filsuf Katholik memilih diksi yang vulgar dan memojokkan orang yang dikenalnya. Melalui tulisannya, sahabat saya, Mas Yustinus Prastowo, hanya memberi dua pilihan 1) saya pembohong, atau 2) saya penjilat.
Kalau sahabat saya tahu (Parulian Sihotang, orang Batak yang halus), pasti dia akan komentar: “ih ngeri kali pun!”
Woles saja Mas Pras. Ngurusi amanah publik, jangan dibawa ke ranah personal. Beda pilihan jalan politik tak harus membuat kita bermusuhan.
Ulasan Panjenengan panjang lebar, agaknya salah alamat, dan kebanyakan didasari dugaan-dugaan. Merangkai banyak peristiwa, yang konteksnya berbeda-beda. Padahal Panjenengan punya nomor HP saya, saya selalu jaga kontak personal. Mbok kalau ada yg ndak mudheng, tanya dulu, tabayun. Jangan langsung buang energi merangkai pikiran dan prasangka. Sayangi umur kita yang makin mendekati garis finish.
Singkat kemawon nggih, hari Rabu (20/2/19) siang saya memang bicara di forum bedah bukunya Pak Simon Felix Sembiring, seorang mantan Birokrat Profesional, Pemikir dan Akademisi yang masih terus memberi perhatian pada pengelolaan Mineral dan Pertambangan. Januari yang lalu, bersamaan dengan ulang tahun beliau yang ke 70 buku yang berjudul : “Satu Dasa Warsa Pengelolaan Minerba”, diluncurkan.
Dalam salah satu bab, ditulis cerita bahwa ada surat dari Menteri ESDM tanggal 7 Oktober 2015, yang dianggap bermasalah. Pertama menulisnya dianggap melampaui kewenangan seorang Menteri. Kedua surat itu dinilai memperlemah posisi tawar Indonesia dalam perundingan dengan PT Freeport, kelak di kemudian hari.
Mas Prastowo yang bijak... Saya sendiri tidak terlalu risau dengan tulisan dalam buku itu, karena apapun yang saya lakukan semasa menjadi Menteri ESDM selalu saya diskusikan dengan orang sekeliling, terutama untuk meyakinkan landasan MORAL dalam setiap kebijakan. Dan dalam urusan surat ini, saya merasa moral groundnya cukup kuat.
Tapi para sahabat meminta saya menjelaskan duduk soal surat itu, kronologis terbitnya surat; semata mata menghindari fitnah. Maka dengan niat baik itulah saya ceritakan kronologis terbitnya surat itu.
Proses yang normal saja, seperti saya jelaskan dalam wawancara Majalah Tambang di tahun 2015. Presiden memutuskan, Menteri dipanggil untuk menindaklanjuti keputusan itu.
Yang memicu reaksi berkibar-kibar adalah detail kronologis terutama pada saat saya menjelang masuk ke ruang kerja Bapak Presiden. Untuk tidak menimbulkan penafsiran yang salah saya jelaskan bahwa sebelum masuk ke ruangan, ada yang memberi tahu saya: “Pak Menteri, pertemuan ini tidak ada”.
Saya juga jelaskan, bila surat itu dianggap melampaui kewenangan dan melemahkan posisi pemerintah, saya ingin membuat semua clear: “yang memerintahkan membuat surat itu Pak Presiden”, itu saja.
Saya ndak ngerti, dimana bohongnya, dimana menjilatnya?. Apa karena saya tidak secerdas Panjenengan, sehingga gagal paham? Pisss Mas.
Di forum kemarin, saya tidak pernah menyebutkan itu sebagai pertemuan rahasia. Karena, bagi saya itu pertemuan biasa saja.
Bila Panjenengan masygul atau risau, kok pertemuan seperti itu dibuka ke publik, wajar sih. Yang harus dimarahi dan dipojokkan jangan proses membukanya. Yang harus Panjejengan kejar adalah: “kok bisa-bisanya pertemuan seperti itu terjadi”
Kalau yang gatel kepala, mbok ya jangan punggung yang digaruk. Mengggaruk punggung, disamping susah, juga tidak menyelesaikan masalah.
Ini saja penjelasan saya: pertemuan itu ada, dan demikianlah adanya. Insya Allah saya tidak berubah, masih sama seperti yang dulu. Mau yang wajar-wajar saja. Mau jujur apa adanya. Seperti lagunya iwan Fals bersama Sawung jabo berikut ini:
Mari menyanyi Mas Pras...
HIOOOO……!!!!!
Aku tak mau terlibat urusan tipu
Menipu...
Aku tak mau terlibat persekutuan manipulasi..
Aku mau wajar-wajar saja
Aku mau apa adanya
Aku mau jujur-jujur saja
Bicara apa adanya
Aku mau sederhana
Mau baik-baik saja
Aku hanya tahu
Bahwa orang hidup
Agar jangan mengingkari hati nurani
Hio.. hio.. hio3x
Hio hio hio...
Makaten Mas Pras. Slow..please. “Woles” kata Cawapres Sandi Uno. Kalau mau masuk ke urusan publik, mboten pareng baper. Kaya Capres Prabowo, diserang tetap cool dan senyum saja.
Sekali lagi.. aku masih seperti yang dulu. Tak bisa jadi pembohong, karena untuk jadi pembohong yang sukses harus bohong terus menerus. Saya juga tak bisa jadi penjilat karena tak punya stok air liur yang cukup. Semoga tidak pernah berubah, tetap menjadi manusia biasa, ..apa adanya.
Salam damai, salam hormat (*)