GELORA.CO - Kekeliruan terbesar Calon Presiden petahana, Joko Widodo pada debat kedua Pilpres bukan pada penyampaian data yang salah. Melainkan, Capres 01 itu enggan meminta maaf atas kesalahannya.
Hal itu pun diyakini akan menggerus tingkat elektabilitas paslon 01 Jokowi-Maruf.
Pengamat politik, Tony Rosyid mengkritisi sikap Jokowi yang tidak mengakui kesalahan berbagai data yang keliru saat debat.
"(Padahal) yang penting tidak salah atau tidak dalam data itu, yang paling penting adalah keterbukaan meminta maaf karena data-data itu salah," katanya dalam diskusi bertajuk "Rezim Jokowi Menebar Hoax dan Kebohongan?" di kantor Sekretariat Nasional (Seknas) Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/2).
Namun sayangnya, lanjut Tony Rosyid, hingga saat ini Jokowi belum menyampaikan permintaan maaf atas berbagai kesalahan data yang dilontarkan.
"Orang Indonesia kalau ada orang yang berani mengakui kesalahan itu elektabilitasnya bisa naik. Tapi kalau wajahnya ngotot, meskipun datanya benar tapi kesannya ngotot, pasti orang sulit memilih," pungkasnya.
Debat kedua Pilpres pada 17 Februari lalu, Capres petahana Joko Widodo mengatakan tiga tahun terakhir kebakaran hutan tidak lagi terjadi. Namun pada kenyataannya, pada tahun 2016, setidaknya ada 14.604,84 hektare lahan dan hutan yang kebakar. Tahun 2017, 11.127,39 hektare lahan dan hutan, dan tahun 2018 ada 4.666,39 hektare hutan dan lahan terbakara. Artinya, hingga kini kebakarannya masih berlanjut.
Jokowi juga mengklaim selama pemerintahannya tidak ada lagi konflik pembebasan lahan akibat proyek infrastruktur. Namun pada kenyataannya, berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sejak tahun 2015 hingga 2017, konflik agraria terus meningkat.
Tidak hanya itu, Jokowi pun mengklaim bahwa penggelontoran Dana Desa sebesar Rp 187 triliun telah menghasilkan 191 ribu kilometer jalan di desa. Jalan desa katanya sangat bermanfaat bagi petani yang ingin menjual hasil taninya. Namun pada kenyataannya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dana desa ratusan triliun itu ternyata tidak mampu menurunkan angka kemiskinan di pedesaan. Angka kemiskinan di pedesaan masih mencapai 13,1 persen. [rmol]