Oleh: Muhtar S. Syihabuddin
Peneliti senior RMPolitika
MENENTUKAN pemenang Pilpres 2019 sama seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Meski jarum diketahui dalam tumpukan, tapi perlu cara ekstra untuk menemukannya. Terutama waktu yang dibutuhkan untuk mengurai tumpukan yang ada. Selanjutnya gunakan mata dengan daya lihat yang jeli. Jarum pasti ketemu.
Pilpres 2019 dengan dua kontestan terasa menyisakan kemudahan bagi kedua belah kubu untuk menerapkan strategi meraih suara. Bagi patahana selalu saja menyampaikan capaian pembangunan selama menjabat. Sementara penentang akan selalu membantah setiap jengkal informasi keberhasilan patahana. Berbalas pantun dalam kampanye pilpres terlihat makin dinamis dan atraktif.
Dalam model paling ekatrim, mirip bermain catur yang menjadi kenikmatan dua orang. Selebihnya hanya jadi penonton; melihat pergerakan bidak dari langkah pertama sampai ke titik akhir pertahanan lawan. Ada siasat untuk mengecoh konsentrasi lawan, terutama dalam waktu genting jelang permainan usai. Skak mat adalah pintu terakhir yang bisa dibuka untuk menjemput kemenangan.
Layaknya bermain catur amatiran, mengingat demokrasi kita baru seumur jagung, para pemain sering menganulir langkahnya. Hanya karena lengah kala ada bisikan langkah baik dalam benak pemain maupun para penonton, ketika memindahkan bidak masih minta untuk dikembalikan pada tempat asalnya. Pihak lawan juga seolah tidak berdaya menerima pola permainan yang jauh berbeda dengan permainan profesional.
Para penonton juga makin hari bertambah penasaran siapa yang jadi pemenang. Mereka bisa leluasa membisikkan bahkan menggerakkan tangan yang menunjukkan langkah terbaik untuk menangkis serangan. Ketika langkah perpindahan bidak dilakukan oleh pemain, pasti ada yang menyela. “Tuh kan harusnya bukan itu jalannya”, kata seorang penonton yang merasa dirinya diabaikan.
Harus disadari demokrasi meminta ongkos mahal untuk lebih baik dan berkualitas. Tengok saja demokrasi di belahan dunia lain yang konon lebih maju, tapi belum tentu mencapai tarap ideal. Demokrasi adalah proses menempatkan suara rakyat sebagai majikan bagi siapa pun yang menang dalam Pilpres 2019. Ini butuh waktu sehingga lebih ranum untuk dipanen raya.
Meski rakyat adalah pemegang penuh daulat memilih, tapi sebenarnya mereka adalah penonton yang satu saat senang tapi pada saat lain jadi kecewa. Mereka hanya punya waktu tidak lebih dari lima menit untuk menentukan siapa pemenang, selebihnya menjadi milik para pemain. Siapa pun yang menang akan punya banyak waktu untuk menggunakan kekuasaan.
Jangan terlalu cepat bicara tentang konsep kepemimpinan negeri ini sebagai yang telah menempatkan suara rakyat adalah suara Tuhan. Pada konsep presidensial itu nyata-nyata pemenang pilpres dengan leluasa memainkan pendulum kekuasaan untuk dan karena apa pembangunan lima tahun mendatang. Menjaga yang sebelumnya baik dan atau membuat trobosan baru yang lebih baik lagi.
Setiap tahun bahasan kemana dan untuk apa uang digunakan memang harus ketok palu lembaga legislatif, tapi tidak bisa sepenuhnya mengerem laju kekuatan seorang presiden. Pemimpin eksekutif mempunyai banyak alasan untuk menentukan arah pembangunan. Bahkan untuk mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang ketika mengalami jalan buntu negosiasi. Posisi seorang presiden memang sangat seksi meski bukan seorang raja seperti jaman dahulu kala.
Presiden republik ini pasca reformasi memang telah diberikan daya kontrol oleh lembaga legislatif. Mengingat pengalaman pahit rezim orde baru yang telah melahirkan banyak kepentingan yang barjarak dengan kadar kedaulatan Tuhan. Terutama keterpilihannya oleh lembaga perwakilan yang ditengarai membajak pilihan rakyat. Gulungan parlemen jalanan akhirnya menyulap sistem pemilihan menjadi pilihan langsung sejak 2004.
Namun 15 tahun berlalu, yang terasa adalah euforia bisa menentukan pilihan secara langsung, dengan ongkos demokrasi mahal yang entah kapan bisa dibayar lunas. Ongkos itu konon akan terus dicicil sampai keturunan kita entah sampai generasi keberapa. Setiap hajatan kontestasi membutuhkan dana triliunan rupiah, baik yang digelontorkan kas negara plus jaringan sponshorship pemenangan.
Seorang presiden ke depan mempunyai tugas maha berat mengemban amanah eksperimentasi pemilihan langsung. Dengan ongkos tidak murah yang diharapkan bisa melahirkan pembangunan yang jauh di atas rata-rata. Sungguh sebuah beban yang tidak ringan, siapa pun yang berhak duduk di istana negara pasti akan merasakan kekagetan luar biasa.
Boleh jadi Anda mengatakan pemenang Pilpres 2019 adalah seorang yang maha kuat, dengan segala potensi dirinya bisa meraih simpati untuk dipilih. Namun, bukan soal siapa yang paling mungkin menebar jangkar kampanye ke setiap pelosok nusantara, tapi lebih ditentukan oleh tangan ajaib demokrasi. Demokrasi modern tetap berada dalam jaring laba-laba, karena adanya pemilih yang terbilang misterius.
Ramalan dengan penyedap angka survai pernah tidak berdaya kala suara mengambang menentukan pilihan pada detik terakhir. Kutukan atas mesin pemenangan sepertinya tidak bakal terhindarkan, mengingat suara mengambang itu akan tetap sulit untuk diarahkan. Rebutan suara mengambang punya daya pikat paling kuat bagi siapa saja yang berharap menang.
Terdengar dari sudut kamar para pengamat, suara mengambang itu akan berlabuh pada siapa saja yang bisa memanfaatkan momentun detik-detik terakhir. Yang bisa memainkan bola lambung sebelum wasit meniup pluit tanda berakhir pertandingan, akan mendapat berkah dari suara mengambang. Umpan lambung itu boleh jadi dimainkan dengan pola menyerang dengan menyertakan penjaga gawang, hingga lahir serangan balik yang mematikan. Atau lahir dari atraksi kuda hitam yang mengecoh pemain terdekat penjaga gawang.
Saya melihat sampai detik ini pola umpan lambung masih ada di saku pelatih di pinggir lapangan. Para pemain masih menggunakan yang standar, bisa formasi bertahan sampai lawan kelelahan hingga memungkinkan lahir goal bunuh diri. Atau menyerang tanpa jeda yang membuat pemain terus terbakar semangat untuk melahirkan goal.
Lepas dari itu, para penonton masih harap-harap cemas terkait siapa yang menjadi pemenang. Harapan itu membuat para penontom tetap setia sampai ujung permainan. Ada yang ceria dengan santun, ada juga yang melewati batas yang membuat dirinya harus keluar dari tribun. Menonton pilpres itu ternyata penuh tatak krama yang jika dilanggar bisa merenggut hak menonton pertandingan.
Jarak pencoblosan sekira dua bulan lagi membuat umpan lambung itu belum terlihat glagatnya untuk dihadirkan. Pola permainan juga belum bisa menarik emosi penonton untuk bersorak. Hanya suara biasa, bahkan ada yang bisik-bisik meramalkan pada saat mana umpan lambung akan lahir.
Pemenang Pilpres 2019 itu masih menjadi misteri sampai pengumuman resmi KPU. Bisa jadi patahana ataupun penantang, yang paling penting jangan sampai menggadaikan kesantunan dalam menerima kekelahan. Dan menyemburkan kesombongan kala kemenangan sudah diresmikan. Ada aturan main yang harus ditaati bersama.
Kita ini sedang belajar untuk berbeda pilihan dengan tetap sekuat tenaga berada dalam skema sama. Ini memang sulit tapi bukan barang mewah dengan syarat mengedapankan akal sehat dan berjiwa besar atas hasil akhir sebuah permainan.
Santai saja, karena menjadi presiden itu amanah berat dari jutaan rakyat Indoneaia. Nikmati proses demokrasi ini dengam selalu mengedapankan kesadaran akan jalan terjal berdemokrasi. Sambil tetap bekerja untuk menyambut hidup lebih maju dan sejahtera. Selamat menonton.[***]