Oleh: Dahlan Iskan
Mestinya sang Pangeran mampir Jakarta. Dalam perjalanannya ke Pakistan, India dan Tiongkok. Itulah jadwal yang pernah diumumkan. Di media internasional.
Tapi sang Pangeran tiba-tiba sudah di Beijing. Bikin kejutan pula: melakukan kerjasama investasi. Sekitar Rp 400 triliun. Pembicaraan dengan Tiongkok itu juga begitu konkrit: siapa yang akan menangani investasi itu.
Arab Saudi akan diwakili Saudi Aramco. Milik kerajaan sepenuhnya. Setelah saham Amerika dibeli Arab Saudi. Tiongkok diwakili BUMN-nya: Norinco. Yang selama ini dikenal sebagai BUMN bidang industri pertahanan.
Disepakati pula Aramco dan Norinco membentuk perusahaan patungan. Namanya sudah langsung diumumkan: Huajin Aramco Petrochemical.
Lokasi proyek juga sudah ditunjuk. Di Kabupaten Panjin, Provinsi Liaoning. Di kawasan Manchuria. Tidak jauh dari Korea Utara.
Lokasi itu saya kenal dengan baik. Saya dua kali ke sana. Dulu. Orang Tiongkok menyebut Panjin (baca: 盘锦) sebagai ‘Kuwaitnya Tiongkok’. Salah satu penghasil minyak mentah terbesar di sana.
Ada dua wilayah di Manchuria yang kaya minyak. Satunya lagi di Dajing (大庆), Provinsi Heilongjiang. Tetangga Liaoning.
Proyek yang utama adalah kilang minyak. Sebesar 300.000 barrel/hari. Berikut industri kimia turunannya. Dan masih banyak lagi proyek lainnya.
Arab Saudi pernah menjanjikan proyek serupa untuk Indonesia. Lokasinya di Tuban, Jatim.
Tapi proyek itu batal. Ada yang bilang begini: janji Arab itu tidak bisa dipegang. Tapi saya punya sumber terpercaya: Indonesialah yang membatalkan. Indonesia lebih tergiur pada tawaran Rusia. Entah lewat siapa. Ada drama yang menarik di balik ini semua.
Hasilnya: proyek kilang Tuban belum dimulai juga. Sampai hari ini. Kita lebih senang impor terus BBM.
Arab Saudi memang sangat berkepentingan membangun kilang. Di mana pun. Produksi minyaknya begitu besar. Mau dijual ke mana? Setelah Amerika tidak perlu impor minyak mentah lagi.
Setelah Amerika kini menjadi produsen minyak/gas terbesar di dunia. Terutama setelah memukan teknologi shale gas. Yang bisa mengambil gas di sela-sela bebatuan di bawah tanah. Terutama di negara bagian miskin Alabama.
Tentu Arab Saudi tidak bisa membangun kilang sebanyak-banyaknya di dalam negeri. Tapi sangat bisa di negara lain. Terutama negara yang haus energi. Seperti Tiongkok, India, Pakistan dan Indonesia.
Itulah sebabnya Pangeran Mohammad bin Salman agresif. Ia putuskan cepat. Investasi kilang di Pakistan. Di Tiongkok. Dan mestinya di Indonesia. Rasanya ia juga lagi merayu India. Karena itu Pangeran mampir ke India.
Padahal India lagi sewot berat dengan Pakistan. Sewot turunan. Sejak pemberontak Kashmir meledakkan bom. Minggu lalu. Menewaskan hampir 30 milisi pro India.
India menuduh Pakistan di balik bom itu. Pakistan menyangkal berat. Tapi India mau Pemilu. Bulan depan. Bom tadi bisa jadi jualan politik yang laris. Mengibarkan sentimen anti Pakistan sangat digemari suara fanatik Hindu.
Saya tentu tidak tahu mengapa Pangeran tidak jadi mampir Jakarta. Pun seandainya tahu, untuk apa ditulis di sini. Dalam suasana seperti ini.
Pangeran memang lagi bikin ayunan menarik. Ia mau bekerja sama dengan Tiongkok. Dalam skala yang begitu besarnya. Padahal dunia tahu: Tiongkok sangat akrab dengan Iran. Bahkan lihat ini: seminggu sebelum kedatangannya ke Beijing, Presiden Xi Jinping menerima kunjungan pemimpin Iran.
Arab Saudi juga sahabat terbaik Amerika di Timur Tengah. Tiongkok lagi dijadikan ‘tersangka’ di banyak hal. Tapi Pangeran tetap mengayunkan langkah besar ke Tiongkok.
Tak ragu-ragu. Arab Saudi menjadi pendukung program One Belt One Road-nya Tiongkok. Seperti juga Iran dan Pakistan. Itu karena Pangeran juga punya program besar ke depan: Saudi 2030. Yang tidak lagi bersandar ke minyak bumi.
Pangeran MBS lagi berkiprah. Ia bikin jalur sutra misterius baru: Riyadh, Lahore, Beijing, Tehran. Jakarta di luarnya.[psid]