Oleh: Jaya Suprana*
1 Februari 2019 Rocky Gerung dipanggil polisi untuk menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya terkait ucapannya di acara ILC 16 April 2018 yang dianggap sebagai penistaan agama akibat guru filsafat di Universitas Indonesia menyatakan bahwa kitab suci merupakan fiksi.
Dua Sahabat
Apapun alasan mau pun tujuan pelaporan Rocky Gerung ke polisi, saya merasa prihatin bahwa UU tentang penistaan agama telah memakan korban dua sahabat saya.
Pertama adalah Basuki Tjahaja Purnama kemudian kini menyusul Rocky Gerung.
Saya yakin bahwa tidak ada seorang pun di antara dua sahabat saya itu yang sengaja berniat menista agama namun ada pihak ke tiga atau ke empat atau selanjutnya yang menafsirkan mereka berdua telah melakukan penistaan agama.
Hukum
Terlepas keprihatinan pribadi saya, apa boleh buat selama UU anti penistaan agama masih berlaku di persada Nusantara tercinta ini maka tradisi saling lapor atas dugaan penistaan agama memang tidak dapat dihentikan.
Demokrasi menghadirkan hak untuk berpendapat dan mengungkap pendapat di masa Orde Reformasi.
Sayang setriliun sayang demokrasi juga menghadirkan hak untuk tidak setuju terhadap pernyataan orang lain dan apabila dibenarkan secara hukum maka hadir pula hak setiap warga melaporkan sesama warga ke polisi berdasar tafsir masing-masing sebelum majelis hakim menetapkan yang dilaporkan bersalah atau tidak bersalah.
Rocky Dan Galileo
Karena Rocky Gerung dan Galileo Galilei merupakan dua tokoh cendekiawan (Rocky dari zaman mileneal di Indonesia sementara Galileo dari jaman renaisans di Italia) maka suasana kasus penistaan agama Gerung memang mirip Galilei.
Jika polisi menyatakan Rocky Gerung tidak bersalah maka masalah selesai alias beres. Namun jika polisi menyatakan Rocky Gerung bersalah maka kasus diserahkan ke pengadilan negeri agar majelis hakim mengadili sang terdakwa lebih lanjut.
Jika majelis hakim Pengadilan Negeri menggunakan kaidah dogmatisme maka dapat diyakini bahwa Rocky Gerung di masa kini pasti divonis bersalah seperti halnya Galileo Galilei di masa dahulu kala itu.
Rocky Gerung bisa selamat dari nasib naas masuk penjara hanya apabila majelis hakim Pengadilan Negeri di Jakarta menggunakan kaidah akademis (semisal fiksi merupakan suatu bentuk kesusasteraan) untuk menentukan bersalah-tidak-bersalahnya terdakwa.
Insya Allah, peradaban Indonesia abad XXI sudah lebih beradab ketimbang peradaban Italia abad XVII sehingga Rocky Gerung sebagai cendekiawan Indonesia masa kini tidak mengalami nasib seburuk yang dialami oleh Galileo Galilei sebagai cendekiawan Italia masa lalu.
*) Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan