Oleh: Imam Shamsi Ali*
Warga Bronx di kota New York ketika dikejutkan oleh sebuah situasi yang berulang biasanya mengatakan “O man! Again?”.
Begitulah kira-kira ungkapan yang layak terlontar di saat kita memasuki musim politik, pilkada maupun pilnas (pilihan nasional). Dan ini berlaku bagi semua tingkat pilihan. Presiden, wakil presiden maupun para pilihan legislatif (DPR, DPD).
Kenapa demikian? Karena hal-hal yang sejak dulu terjadi kini kembali lagi. Promosi-promosi kebaikan masing-masing calon tiba-tiba mendadak lagi muncul atau dimunculkan. Kebaikan yang selama ini tidak pernah nampak, bahkan mungkin realitanya memang tidak ada, tiba-tiba tumbuh bagaikan bunga di musim semi.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, yang sudah pasti pemilih super mayoritas adalah Muslim, Islam sebagai identitas kebaikan menjadi laris manis.
Dengan kata lain, di musim politik dan kampanye ini tiba-tiba keislaman para caleg itu begitu nampak dan dinampakkan. Jangankan mereka yang memang beragama Islam. Bahkan calon yang kebetulan beragama non Islam saja tiba-tiba memiripkan diri bagaikan Muslim.
Tidak jarang memakai pakaian yang secara luas identik dengan keislaman. Masuk keluar Masjid dengan salamnya yang cukup fasih. Bahkan ketika berpidato dibuka dengan hamdalah dan sholawat dan seterusnya.
Mereka juga keluar masuk pondok pesantren ketemu para ulama dan kyai. Yang kurang dananya mencium tangan kyai. Yang banyak dananya tangannya yang dicium oleh para santri/santriyah.
Beberapa waktu lalu saya pernah menulis dengan judul religiositas musiman. Kira-kira itulah yang terjadi lagi. Atau dalam bahasa orang Bronx tadi “O man! Again?”.
Orang-orang yang selama ini tidak peduli dengan agama dan institusinya, termasuk dengan ulama bahkan melehkan agama dan ulamanya. Tiba-tiba di musim politik dan kampanye ini semuanya peduli dengan agama dan ulama.
Beragama itu alami
Mungkin di saat-saat seperti inilah kita perlu saling mengingatkan. Bahwa agama itu alami. Beragama itu juga harus melalui proses alami. Bukan dibuat-buat, apalagi dipaksakan.
Agama ini begitu penting dalam berinteraksi secara politik. Karena harusnya dengan agamalah para politisi memilki “kesadaran samawi” bahwa anda boleh jadi pintar menipu rakyat. Tapi percayalah Tuhan rakyat tidak pernah lengah dan tertipu.
Dengan agama para politisi harusnya membangun “kesadaran ukhrawi”. Bahwa janji-janji kampanye mereka pasti akan dipertanggung jawabkan di hari tiada tipu menipu lagi.
Dengan agama para politisi harusnya membangun basis moralitas (moral ground) untuk melayani rakyat. Bahwa secara moral (dan hukum) adalah dosa ingkar janji dan mengkhianati amanah.
Agama bukan untuk dipamerkan di saat kampanye. Agama bukan untuk jadikan tontonan untuk menipu rakyat. Agama bukan dijadikan pijakan atau tangga menaiki kekuasaan dengan rakus.
Agama itu untuk dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan. Tahmid, tahlil dan sholawat yang dihafalkan dengan segala upaya agar fasih, bukan sekedar bahan kampanye.
Agama yang rakyat ingin lihat dari para calon adalah kejujuran. Agama yang ikhlas tanpa tendensi kepentingan. Itulah yang nantinya melahirkan prilaku kebijakan yang memihak rakyat.
Agama yang jujur itu secara alami akan nampak dalam berbagai kebijakan publik. Kebijakan yang memihak rakyat, memihak agama dan kebenaran, menghormati ulama secara alami, bahkan ketika berseberangan secara politik sekalipun.
Rakyat tidak perlu pengakuan dan demosntrasi agama di hadapan publik. Yang mereka perlukan adalah kesadaran agama dalam prilaku dan kebijakan publik. Tunjukkan jika anda beragama dalam berbagai kebijakan yang akan anda ambil.
Buktikan jika anda beragama dalam rancangan legislasi yang akan anda akan lakukan. Sehingga legislasi itu menjadi penguat agama, bangsa dan negara.
Beragama itu adalah ketika kekuasaan anda pergunakan untuk membantu kaum dhuafa. Ketika anda memberantas pelaku korupsi apalagi anda berada dalam genggaman mereka.
Hentikan prilaku paradoks dalam politik. Beragama di saat kampanye. Anti agama di saat mengambil kebijakan politik. Beragama untuk mendapat dukungan rakyat banyak. Anti agama di saat merancang legislasi. Beragama ketika masuk pesantren bertemu para ulama. Anti ulama di saat ulama menjalankan tugas “amar ma’ruf nahi mungkar”.
Kesimpulannya, hentikan prilaku paradoks bahkan kemunafikan di musim kampanye!
New York, 10 Pebruari 2019
*) Penulis adaalah Presiden Nusantara Foundation