Oleh Nasruddin Djoha
Dalam debat kedua antar-capres Pak Jokowi dengan sangat percaya diri bercerita dia sangat memperhatikan rakyat kecil seperti nelayan. Dia mengaku pernah menemui nelayan Tambak Lorok, Semarang pada tengah malam, hanya berdua sopir.
Kelihatannya Jokowi terinspirasi figur Khalifah Umar Bin Khattab. Seorang khalifah pada masa awal kekuasaan Islam yang dikenal sangat tegas, namun berhati lembut.
Dia sering diketahui menyamar bepergian di malam hari tanpa pengawalan (incognito) untuk mengetahui persoalan yang dihadapi rakyatnya.
Soal Pak Jokowi mirip Khalifah Umar Bin Khattab ini pernah disampaikan oelh Ketua DPP PDIP Bidang Kamaritiman Rokhmin Dakhuri. Ini semacam branding pencitraan untuk Pak Jokowi.
Saya yakin ketika menonton debat dan mendengarkan Jokowi bercerita tentang kunjungannya ke Tambak Lorok, banyak orang yang berdecak kagum. Diam-diam setuju bahwa Pak Jokowi secara pribadi mirip Khalifah Umar. Bukan fisik ya, tapi perilaku.
Khalifah Umar digambarkan secara fisik sangat kuat dan tegap. Dia juara gulat di pasar malam Arab. Bedalah dengan Pak Jokowi yang bertubuh kurus, alias kerempeng kata Ibu Megawati.
Namun kekaguman itu menjadi kekecewaan yang mendalam, karena pengakuan Pak Jokowi jauh dari kenyataan.
Pertama, Pak Jokowi jelas tidak hanya berdua seperti pengakuannya. Agus Suparto fotografer pribadi Pak Jokowi hadir disitu. Hal itu terlihat dari unggahan di facebooknya.
Pergi ke suatu tempat, apalagi sangat spektakuler seperti ke Tambak Lorok tanpa fotografer atau cameramen bukanlah sifat Pak Jokowi. Gak Jokowi banget.
Salat saja harus ada kamera, mosok kunjungan sendirian, tengah malam ke kampung nelayan tidak ada kamera. Kata Bang Haji Rhoma Irama “ Terlaluuuuuu.”
Kedua, pengakuan Ketua RW XIII Tambak Lorok Haji Sueb, Pak Jokowi datang pada pukul 21.00 bukan tengah malam. Kita gak perlu berdebat soal ini. Bisa jadi difinisi tengah malam Pak Jokowi beda dengan kita. Secara umum yang dipahami, tengah malam itu setelah pukul 24.00.
Ketiga, nah ini yang mulai membuka kejanggalan pengakuan Pak Jokowi. Yang menjadi sopir pribadinya adalah Mayjen TNI Maruli Simanjuntak. Siapa dia? Menantu Luhut Panjaitan ini adalah Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
Mustahil Pak Jokowi tidak tahu siapa Maruli. Jadi pengakuan samasekali tanpa pengawalan ini hanya omong besar. _Umuk_ kata orang Solo. Dia dikawal oleh super Paspampres. Komandannya langsung.
Maruli perlu menjelaskan ini karena risikonya dia bisa dipecat Panglima TNI karena membiarkan seorang presiden, simbol negara sebesar RI dibiarkan keluyuran maam hari tanpa pengawalan. Jelas itu sangat menyalahi prosedur tetap (protap) pengawalan seorang presiden. Ke toilet saja harus dikawal, apalagi ke Tambak Lorok.
Entah kalau Pak Jokowi punya niat lain. Merombak Paspampres. Menurunkan pangkat Maruli dari seorang Komandan Paspampres menjadi sopir pribadi.
Keempat, ini yang super-super parah. Kepala Staf Presiden Moeldoko juga membantah bila Jokowi pergi sendirian tanpa pengawalan. Ada sejumlah pasukan Paspampres yang sudah ditempatkan di sejumlah titik untuk mengamankan Pak Jokowi. Moeldoko menyebutnya ada anggota Paspampres yang “ditanam.”
Moeldoko juga pasti akan dimaki-maki banyak orang, terutama koleganya. Apalagi kalau sampai dia kecebur laut, karena banyak warga yang berdesak-desakan. Sebagai mantan Panglima TNI, dia sangat paham bagaimana protap pengawalan presiden.
Dengan fakta-fakta itu saya minta Pak Rokhmin segera meralat julukan Pak Jokowi mirip seperti Khalifah Umar Bin Khattab.
Dari fisik, perilaku, sampai ucapan jelas-jelas sangat berbeda dengan Khalifah Umar Bin Khattab.
Please jangan cemari nama besar khalifah yang Agung itu. Dalam beberapa riwayat Khalifah Umar digambarkan Iblis pun menghindar ketika tanpa sengaja berpapasan dengan beliau.
Khalifah Umar juga tidak pernah bercerita kepada publik tentang apa yang dikerjakan selama dalam penyamaran dan perjalanannya di tengah malam. Apalagi mengumbar cerita di debat capres yang disaksikan oleh ratusan juta penonton televisi.
Gak mungkin banget. Pada masa itu televisi belum ada…ha….ha… ha….
Tabik Pak. No offence. Hanya meluruskan fakta dan persepsi publik saja. The End (*)