Oleh: Gde Siriana*
KAPOLDA Sulsel Irjen Umar Septono pada tanggal 19 Januari 2019 dalam suatu apel bersama memberikan arahan kepada bawahannya bahwa saluruh jajaran Polda Sulawesi Selatan harus dapat melayani masyarakat dengan baik, karena anggota Polisi Republik Indonesia digaji oleh rakyat.
Dalam hubungan antara negara dan rakyat seperti yang dipahami oleh Kapolda Sulsel ternyata dipahami secara berkebalikan dengan apa yang disampaikan oleh Menkominfo Rudiantara pada acara internal Kominfo 31 Januari 2019 di Hall Basket Senayan, Jakarta.
Meskipun kemudian dilakukan klarifikasi, pertanyaan Menkominfo kepada seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) “Bu, yang bayar gaji ibu siapa sekarang? Pemerintah atau siapa?” tetap dianggap tidak mehilangkan kesan tendensius dan intimidatif terhadap ASN jelang Pilpres 2019.
Memahami hubungan antara negara, pemerintah dan rakyat adalah hal mendasar bagi setiap ASN maupun pejabat negara. Roger H. Soltau mendefinisikan negara sebagai agen (agency) atau kewenangan (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (The states is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community.
Pemerintah merupakan salah satu unsur negara yang menjalankan organisasi negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara. Menurut Prof. Dr. Taliziduhu Ndraha, pengertian pemerintah adalah semua perangkat negara atau lembaga negara yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan, sedangkan menurut Robert Mac Iver pengertian pemerintah adalah organisasi dari orang-orang yang memiliki kekuasaan, bagaimana manusia bisa diatur. Secara singkat atas nama rakyat pemerintah mendapatkan mandat untuk menjadi organizer negara.
Dari pemahaman teoritis tersebut ada perbedaan yang jelas antara pemerintah dan negara, pemerintah bukan negara dan negara bukanlah pemerintah. Maka apa yang disampaikan oleh Menkominfo dalam konteks menjelang pilpres 2019 dapat memicu intimidasi terhadap ASN di berbagai institusi negara dan di berbagai daerah. Ini sangat berbahaya mengingat posisi ASN sebagai abdi negara bukan abdi pemerintah.
Itulah mengapa ASN harus berada diposisi netral dalam kepentingan politik, sesuai pasal 2 huruf f UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Meskipun pemerintah wajib membayar gaji ASN (Pasal 79 UU 5/2014 tentang ASN) tetapi perlu dipahami bahwa ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara bukan aparatur pemerintah (Pasal 8 UU 5/2014 tentang ASN).
Apalagi untuk membayar gaji ASN pemerintah menggunakan dana APBN/APBD yang diperoleh dari pajak yang disetor oleh rakyat. Itulah mengapa rakyat menyetorkan pajak melalui Pos Kas Negara. Lebih parah lagi jika ini dapat dipandang sebagai upaya mengaburkan pemahaman masyarakat tentang perbedaan antara negara dan pemerintah.
Ketika masyarakat sudah terjebak dalam pemahaman yang salah bahwa pemerintah sama dengan negara maka kekuasaan akan memanfaatkannya untuk menjalankan abuse of power bahkan totalitarian/diktator.
Klaim hasil pembangunan yang dibiayai oleh uang rakyat, penjualan aset-aset negara tanpa persetujuan rakyat, represif terhadap kebebasan rakyat adalah bentuk-bentuk perilaku pemerintah yang menganggap dirinya sebagai negara. Padahal sudah dijelaskan dalam konstitusi perbedaan antara kepala negara dan kepala pemerintahan.
Sebagai perbandingan di negara-negara demokrasi maju seperti AS dan Jepang, seorang petahana haram hukumnya melakukan intimidasi terhadap ASN dan tidak bermoral melakukan klaim atas pembangunan infrastruktur. Di Jepang pembangunan infrastruktur sudah ditetapkan berkelanjutan oleh Bappenas setempat siapapun walikota/perdana menterinya.
Petahana untuk terpilih kembali harus mengandalkan klaim capaian ekonomi, kesejahteraan rakyat maupun kekuatan pengaruh politik negara di dunia internasional. Atau petahana menjual isu-isu kontekstual seperti persoalan lapangan kerja, pajak, aborsi, LGBT, kesetaraan gender, lingkungan maupun terorisme/keamanan negara.
*) Direktur Eksekutif Government and Political Studies