GELORA.CO - Hampir saban hari Maman Imanulhaq menerima pertanyaan sama, apakah ada kaus bergambar pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Awalnya pertanyaan itu cukup dijawab, “Tak ada.” Tetapi belakangan Maman mulai jengah.
“Anda kan relawan, relawan harus kreatif. Tak ada dana dari TKN. TKN tugasnya harus memfasilitasi," kata dia, mengulang ucapannya saat berbincang dengan kumparan di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (23/2).
Maman duduk sebagai Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf. Urusan itu bukan bagiannya. Di TKN, Direktur Logistik dan APK dijabat Usra Hendra Harahap.
Tugas Maman bukan untuk mengucurkan uang atau barang, tetapi mengoordinasi antarkelompok relawan agar tak tumpang tindih. Entah bagaimana permintaan logistik berupa kaus dan alat peraga kampanye (APK) tersasar padanya.
Tak semua relawan bekerja efektif. Hanya sekitar 600 kelompok yang militan. Jumlah itu cuma 30 persen dari total relawan. Sebagian lainnya hanya sibuk minta logistik atau berebut selfie dengan Jokowi.
“Banyak yang tidak paham dengan tugas dan fungsi relawan dan TKN,” kata Maman.
Kelompok relawan Jokowi di bawah Jusuf Kalla, Jenggala Center, merasakan hal serupa. Ketua Jenggala Center, Iskandar Mandji, menganggap militansi relawan di 2019 merosot.
“Lebih banyak yang kerja, memang lebih bagus. Tapi semangatnya tidak sama dengan 2014. Sekarang seperti adem-adem saja. Kita sempat bingung juga waktu turun bulan Desember (2018), di bawah itu bingung dan tidak gerak. Terpaksa kami (Jenggala) cover semua di 27 provinsi,” ujar Iskandar.
“Itu yang saya lihat di lapangan dengan pasukan saya. Tak masalah kalau orang partai bilang itu (relawan tak bergerak) tak benar,” imbuhnya.
Indikator sebuah relawan bekerja, cukup sederhana. Ia terjun ke lapangan menggalang pendukung, membuat laporan berkala, dan terlibat skenario operasi penggalangan suara yang disiapkan TKN.
Kelompok relawan Jokowi-Ma’ruf dibagi dalam berbagai klaster. Klaster pertama mencakup B alias Bravo yang merujuk ke Bravo 5 yang dipimpin Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi. Lalu, C atau Cakra, merujuk ke relawan Cakra 19 yang dipimpin eks sekretaris kabinet Andi Widjajanto. Keduanya binaan Luhut Binsar Pandjaitan.
Selanjutnya, D alias Delta yang merupakan beberapa kelompok relawan yang bergerak di Pilpres 2014. Ada 11 kelompok relawan yang masuk ke Delta. Misalnya Projo, Bara JP, Seknas Jokowi, Rumah Koalisi Indonesia Hebat (RKIH) yang kini menjadi Rumah Kreasi Indonesia Hebat (RKIH), hingga Galang Kemajuan (GK).
Klaster kedua, yaitu kumpulan beberapa kelompok relawan yang relatif kecil seperti pada Pilpres 2014. Mereka membentuk kelompok baru seperti Aliansi Relawan Jokowi (ARJ) atau Tim Relawan Nasional (TRN). Klaster ketiga, ada kelompok relawan yang bekerja independen dan individual, membentuk rumah-rumah kerja seperti Rumah Aspirasi atau Rumah Kerja Relawan yang tersebar di Jawa Barat, Jakarta, hingga Sumatera Barat.
Kemudian, ada kelompok relawan muslim yang belakangan muncul sebagai imbas karena Jokowi memilih cawapres berlatar belakang kiai. Misalnya Milenial Muslim Bersatu, relawan Jokowi-Ma'ruf Amin (Jomin), Samawi, hingga Brigade 01.
Jumlah kelompok relawan Jokowi-Ma’ruf kini lebih banyak dibanding saat Pilpres 2014. Saat itu, jumlah relawan Jokowi-JK hanya sekitar 1.600-an kelompok. Namun Maman, yang kala itu menjadi bagian Tim Pemenangan Nasional Jokowi-JK di 2014, menganggap militansi kelompok relawan lima tahun lalu jauh lebih terlihat.
“Di 2014, sedikit sekali yang minta-minta. Satu, karena militansi. Lalu ada tangan-tangan tidak terlihat yang memberikan bantuan untuk operasional di lapangan. Di 2019, itu yang tidak ada,” tutur dia.
Pada 2014 hampir tidak ada kelompok relawan yang saban hari menagih logistik kepada Timses Jokowi-JK. Saat itu kelompok relawan sekadar melaporkan kegiatan kepada timses sebagai koordinator.
Ada beberapa faktor yang membuat militansi bagi Jokowi pada 2014 begitu tinggi. Saat itu, Jokowi merupakan simbol harapan baru. Ia capres yang tidak lahir dari elite partai, melainkan orang biasa. Pun, ia tak lahir dari budaya politik feodalistik.
“Saat itu, kami merasakan Jokowi benar-benar sebuah hope. Makanya di zaman itu, militansi relawan masih mengacu ke nilai-nilai tersebut. Nilai akan sosok yang bisa membuat perubahan,” ujar Maman.
Kondisi dulu berbeda dengan 2019. Kini, posisi Jokowi sebagai petahana secara tidak langsung mengendurkan militansi sejumlah kelompok relawan. Jokowi dinilai kuat secara logistik. TKN pun dianggap sebagai gudang duit. Menurut dia, di luar 600 kelompok relawan yang aktif bergerak, kelompok lainnya cenderung pasif.
Padahal Jokowi sudah menetapkan, TKN tidak akan menjadi sumber logistik bagi operasional relawan. TKN hanya memberikan sokongan pada acara tertentu saja. Misalnya, konsolidasi seluruh relawan yang terdaftar, atau saat pidato kebangsaan Jokowi, atau saat relawan diminta meramaikan acara nobar debat.
“Tugas relawan itu mendekatkan Jokowi ke rakyat, melalui program dan prestasi Jokowi. Bukan berdesakan untuk berselfie ria sama Jokowi,” kata Maman.
Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, mengaku masih dapat mempertahankan militansi kelompoknya. Memang ada perbedaan substansi perjuangan di 2019 dan 2014 karena tujuannya kini adalah mempertahankan Jokowi sebagai presiden. Tapi mayoritas relawan Projo yang sudah aktif di 2014 sudah teruji militansinya, sehingga sudah biasa bekerja dengan segala hambatan.
“Kita sudah mampu bekerja dengan berbagai keterbatasan, diuji waktu dan sejarah. Kita bekerja dengan segala keterbatasan logistik, APK, dana. Sudah biasa itu. Kita juga tak pernah diberi kemewahan,” tutur dia.
Masalah relawan juga tak melulu soal militansi. Maman tak menafikkan jika ada beberapa orang yang bergabung menjadi relawan demi mereguk kekuasaan. Mereka mengincar beberapa jabatan seperti komisaris BUMN atau pejabat kementerian.
Praktik tersebut sudah biasa. Timses atau relawan akan mendapat tempat di kekuasaan. Namun Maman memberikan catatan, harusnya sosok yang dapat tempat itu benar-benar capable, baik dari jalur partai atau relawan.
“Ada segelintir orang yang tak mau capai lewat jalur partai. Dia menjadikan relawan sebagai komoditas. Misalnya mau menteri atau komisaris. Lewat kelompok relawan ini, lebih murah kan dibanding lewat partai. Tak boleh relawan jadi tempat transaksional—jadi menteri, komisaris,” ujarnya.
Saat Jokowi menang Pilpres 2014, sejumlah relawan kemudian duduk sebagai komisaris BUMN. Misalnya, Hilmar Farid yang di 2014 menjadi Ketua Simposium Seknas Jokowi menjadi Komisaris PT Krakatau Steel, lalu Sahala Lumban Gaol yang pimpinan kelompok relawan Bara JP menjadi Komisaris PT Pertamina.
Ada pula Fadjroel Rachman yang menjadi Komisaris di PT Adhi Karya. Sementara Boni Hargens yang aktif dalam pemenangan Jokowi di 2014 juga pernah menjadi anggota Dewan Pengawas LKBN Antara hingga 29 Agustus 2017. Selain itu, masih banyak relawan yang meraih posisi komisaris.
Maman menganggap riak seperti itu takkan memangkas optimisme meraih kemenangan. Ia mengandalkan 600 kelompok relawan yang sudah matang. “Pasti menanglah, karena yang 600 itu sudah teruji kerjanya di lapangan dan memang terbukti,” ujarnya.
Relawan 02 Lebih Militan
Fakta berbeda terjadi di seberang. Pada 2014, Prabowo boleh saja mengandalkan mesin parpol, sebab mayoritas partai saat itu mendukungnya. Kala itu, kelompok relawan yang mendukung Prabowo tak semasif dan semilitan saat ini.
Jubir Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Andre Rosiade yang juga anggota Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta Rajasa di 2014, mengatakan kelompok relawan mereka bahkan banyak yang sering berinisiatif langsung melakukan kampanye door to door. Padahal jumlah logistik yang disiapkan BPN pada 2019 ini tidak banyak. Namun jumlah relawan tetap membludak.
“Logistik kita di 2014 lumayan ada. Kalau sekarang kan kita duafa benar. Tapi yang terjadi, relawan malah lebih militan,” ujar politikus Gerindra itu.
Saat ini, jumlah kelompok relawan Prabowo-Sandi tercatat sekitar 1.300 kelompok. Mayoritas kelompok relawan merupakan emak-emak. Ada pula kelompok relawan lain yang berbasis generasi milenial atau profesi tertentu.
Direktur Relawan BPN Prabowo-Sandi, Ferry Mursyidan Baldan, menyebut masih banyak kelompok relawan yang belum terdaftar di luar 1.300 kelompok itu. Mereka sudah terbentuk secara swadaya hingga tingkat kabupaten/kota.
BPN membiarkan kelompok-kelompok itu bekerja sesuai karakternya masing-masing. Mereka tak ingin membatasi kerja relawan berdasarkan jumlah mereka.
“Bahkan tiga orang pun sudah saya anggap sebagai kelompok relawan. Tidak usah 100. Misalnya ada 1.000 tapi Anda enggak kenal, gimana? Kan percuma,” ujar Ferry.
Mantan timses Jokowi-JK di Pilpres 2014 itu memiliki sistem pengembangan relawan yang beranak pinak. Biasanya relawan Prabowo-Sandi bergerak dengan target minim, namun lewat pendekatan intens dan personal. Jadi misal minggu ini cuma ada tiga orang, pekan depannya sudah jadi enam orang, pekan depannya lagi menjadi 9, dan seterusnya.
Ferry menilai, para relawan sadar pasangan Prabowo-Sandi tak kuat secara logistik. Mereka hanya melaporkan soal wilayah yang akan digarap. Terkait sarana penunjang, mereka menyiapkan sendiri, sedangkan BPN hanya mengunggah contoh materi kampanye, mulai dari desain baliho atau spanduk hingga berbagai jenis meme.
Master desain ini diunggah di situs Prabowo-Sandi dan bisa diakses kapan pun.
“Relawan-relawan ini tak minta logistik pada kami. Mereka jalan sendiri, cetak sendiri. Mulai dari bikin kaus, spanduk. Disuplai APK ada, tapi tidak pernah banyak,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menilai kekuatan relawan saat ini berbalik dibanding Pilpres 2014. Sekarang, Jokowi-Ma’ruf mendapat lebih sedikit dukungan relawan dibanding Prabowo-Sandi. Petahana lebih mengandalkan kekuatan parpol pengusung.
Hal tersebut bagian dari karakter politik Indonesia, di mana penantang selalu memiliki keunggulan dalam membangun gerakan organik relawan, sedangkan petahana mengandalkan dukungan partai. Kini Jokowi-Ma’ruf sudah duduk sebagai petahana, sementara Prabowo-Sandi merupakan penantang.
“Lagi pula, yang namanya penantang, euforia relawan akan lebih terasa. Karena mau tidak mau, mereka harus menggunakan relawan untuk menutupi kekuatan partai yang sedikit,” ujar Yunarto.
Soal bagi-bagi jabatan pascamenang pun dinilai normal. Saban rezim selalu melakukannya. Yunarto hanya memberikan catatan, jangan sampai bagi-bagi kue ini menjadi tolok ukur kerelaan bekerja di lapangan. Toh, bagaimana pula mengukur soal kerelaan.
“Sebab (kalau parameternya begitu), akan lebih banyak kecewa. Dari ribuan relawan, berapa sih yang misalnya menjadi komisaris atau menteri,” tutur dia.
Jadi relawan sudah barang tentu tak melulu kerja ikhlas. Namanya juga politik, tak ada makan siang gratis. [kumparan]