Oleh Ki Hargo Carito
Orang Jawa itu sangat percaya dengan tanda-tanda alam. Misalnya bila ada burung prenjak yang terus berbunyi, berarti rumah kita akan kedatangan tamu.
Sementara bila ada burung gagak yang hinggap di atas wuwungan rumah, berarti ada anggota keluarga yang akan meninggal dunia.
Selain tanda-tanda alam, orang Jawa juga percaya akan takwil mimpi. Kalau ada pria atau wanita jomblo mimpi bertemu ular, maka dia akan segera bertemu jodohnya. Kalau ularnya menggigit, nah itu berarti dia akan segera menikah.
Soal kepercayaan terhadap tanda-tanda alam ini bukan hanya berkaitan dengan urusan personal, bahkan sampai masuk ke ranah kenegaraan. Seorang raja atau kalau dalam konteks sekarang presiden biasanya dikait-kaitkan dengan urusan wahyu.
Mereka yang berhak menjadi raja adalah yang mendapatkan wahyu Cakraningrat. Bila tidak negara bisa bubrah. Dalam dunia pewayangan digambarkan dalam episode “Petruk Dadi Ratu.”
Petruk adalah seorang hamba sahaya, punakawan yang digambarkan bertubuh tinggi, dan kerempeng. Tampangnya biasa saja ora ngawaki.
Seorang raja dalam steorotipe Jawa digambarkan gagah pidekso, mbambangi. Bertubuh gagah, tidak pendek, tidak terlalu tinggi, dan berparas tampan.
Seorang kepala negara itu manusia pilih tanding. Mereka manusia pilihan Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi. Allah yang menciptakan alam semesta. Berwawasan luas dan berwibawa. Tidak boleh sembarangan orang menjadi raja atau presiden. Bila tetap memaksakan akan terjadi kerusakan, malapetaka.
Menjelang pilpres soal tanda-tanda alam ini juga sangat diperhatikan oleh orang Jawa. Ada tiga peristiwa yang diam-diam menjadi bahan diskusi di kalangan para penghayat kebudayaan Jawa.
Pertama, matinya Kiai Joko kerbau pusaka Keraton Surakarta Hadiningrat. Kiai Joko adalah keturunan dari Kiai Slamet kerbau bule legendaris yang selalu menjadi pelengkap utama peringatan pergantian kalender Jawa 1 Suro.
Bagi Keraton Surakarta, kota asal Presiden Jokowi, Kiai Joko bukanlah sembarang kerbau. Dia kerbau keramat yang sangat dihormati. Karena itu kematiannya ditangisi. Ketika matipun dia dimandikan, dikafani, baru dimakamkan. Layaknya manusia terhormat yang meninggal dunia.
Orang Jawa, khususnya yang berada di tlatah Keraton Surakarta mengamati dan menunggu-nunggu dengan cemas, peristiwa buruk apa yang akan terjadi?
Peristiwa kedua angin puting beliau yang menghancurkan kaca dan beberapa atap gedung pertemuan yang digunakan gubernur Jatim terpilih Khofifah di Madura. Saat itu Khofifah menghadiri deklarasi relawan pendukung paslon 01 Jokowi-Ma’ruf.
Ketika tiba di gedung pertemuan, angin bertiup kencang, hujan deras mengguyur. Seolah alam murka. Wartawan melaporkan Khofifah sampai meneteskan air mata. Sebagai orang Jawa, dan juga santri, Khofifah nampaknya paham dengan adanya tanda-tanda alam.
Peristiwa berikutnya yang sangat heboh adalah do’a Mbah Kiai Maimoen Zubair untuk Prabowo yang diaminkan Jokowi. Sebagai kiai sepuh yang usianya sudah 91 tahun levelnya Mbah Moen sudah ma’rifat.
Semua perilakunya sudah dituntun oleh Gusti Allah. Tidak mungkin Mbah Moen keseleo lidahnya. Jadi tanda-tanda dari Gusti Allah itu sudah disampaikan langsung melalui manusia setengah wali, Mbah Moen. Ini merupakan tanda alam yang sangat nyata. Cetho welo-welo.
Kita boleh percaya atau tidak soal tanda-tanda alam ini. Tak lama setelah Jokowi terpilih menjadi presiden, di langit Jawa tepatnya di atas kota Solo muncul sebuah komet. Orang Jawa menyebutnya sebagai lintang kemukus.
Prabu Joyoboyo yang terkenal lewat kitab Jongko Joyoboyo pernah menyebutkan “Wujud Lintang Kemukus iku dowo, ngalu-alu ono sisih wetan. Lintang kemukus itu bentuknya panjang, dan berada langit sisi timur.
Munculnya lintang kemukus biasanya dikaitkan dengan pertanda buruk. Pertanda munculnya bencana besar, huru-hara, zaman yang penuh malapetaka.
Wallahu alam. (*)