GELORA.CO - Kehadiran pendengung atau buzzer di media sosial membuat perpolitikan Indonesia semakin jauh dari keberadaban. Sebab, buzzer bayaran itu tidak memiliki kecerdasan yang cukup dalam berdiskusi dan hanya bisa mengumpat serta memaki-maki.
Begitu tegas ekonom senior DR Rizal Ramli dalam diskusi yang digelar oleh Forum Tebet (Forte) di kawasan Tebet, Jakarta, Senin (25/2).
“Tokoh-tokoh politik Indonesia menyewa buzzer, bayaran, yang kecerdasannya tidak cukup untuk diskusi yang beradab. Bisanya maki-maki, maki-maki agama, maki-maki fisik, termasuk serangan pribadi,” ujar RR, sapaan akrabnya.
Opini publik, baik itu yang disampaikan di media sosial, kata RR harus didiskusikan secara sehat. Jika ada pihak yang mengajukan data dalam diskusi, maka pendebat harus bisa melawan dengan menyajikan data juga. Bukan malah menyerang secara pribadi.
“Kan harusnya kalau ada pendapat, dibantah dong faktanya, analisanya. Tapi karena kecerdasan nggak cukup, akhirnya serang pribadinya,” imbuhnya.
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengaku sering mendapat serangan buzzer saat dia mengungkap sebuah fakta. Padahal, pengungkapan itu disertai dengan data-data yang akurat. Tapi, respon buzzer justru menyerang pribadinya.
“Pertama, ’Eh elo udah tua’, saya biasa digituin. ‘Menteri pecatan', yang ketiga ’barang elo nggak bisa nga**ng’,” kesal RR. [rmol]