Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH. MH.*
APA yang terjadi sepanjang satu periode kepemimpinan Jokowi, kita hanya bisa meratapi keadaan politik dan hukum yang terjadi di negara kita.
Kita patut sedih melihat kondisi perpolitikan Indonesia yang terpecah. Sedih melihat ekonomi yang terpuruk. sedih melihat hukum yang dipermainkan, sedih melihat janji-janji yang tidak ditepati.
Tapi kiranya keluhan ini harus kita ganti dengan berbicara. Kita membicarakan tentang keadaan bangsa kita, kita membicarakan pemimpin bangsa yang lemah, keadaan masa depan bangsa suram.
Kita harus membicarakan ini. Membicarakan pula tentang Jokowi yang menciptakan dalam dirinya semacam situasi untuk tidak senang dengan identitas yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.
Penyamaran yang dibuat, telah terlalu banyak 'topeng'nya, semua terbuka satu persatu dalam kondisi yang memprihatinkan.
Jokowi tidak memiliki otentisitas sebagai alat ukur seberapa jauh aksi Jokowi bersifat kongruen dengan kepercayaan dan keinginan pribadinya, meski pun didera tekanan dari luar.
Pun kalau kita disuruh untuk menilai sejauh mana Jokowi mampu memegang katanya sendiri, maka kita pun menjadi lebih bingung lagi. Karena "perkataan kemarin sering dibantah oleh pernyataannya hari ini."
Dari situ, dapat dilihat, bahwa inkosistensi ini telah menjadi satu agenda untuk mencari jalan melerai benang kusut yang dibuat. Untuk menutupi kekusutan itu, pernyataan "marah-marah" sebagai cara lain untuk memperlihatkan ketegasan menjadi salah satu jalan.
Karena melihat ketidakberdayaan itu, baik ketidakberdayaan terhadap "oligarki gerontokrasi" yang mengekang urat lehernya, juga ketidakcukupan "nyali" untuk berdiri independen dalam mengambil mengambil keputusan, maka kita patut bertanya, Seberapa besar kekuatan Jokowi dalam memutuskan kebijakan yang keluar dari pikirannya sendiri untuk membangun bangsa dan negara dalam kedudukannya sebagai presiden?
Kayaknya menjawab itu tidak cukup "memuji" bahwa ia merakyat, ia tidak punya beban masa lalu, ia keluarga baik. Ini bukan urusan mencari calon suami, ini urusan mencari pemimpin negara. Maka yang diperlukan adalah otentisitas pikiran bukan inotentik. justru inotentik memperlihatkan bahwa ia memang "defisit kekuasaan".
Lalu seperti apa contoh kasus dari ketidakkonsistenan dan tidak otentisitas Jokowi itu. Kasus pembebasan Ustad Abu Bakar Baasyir, menjadi contoh yang masih segar, betapa Jokowi memperlihatkan secara vulgar bahwa dirinya tidak memiliki kekuasaan yang terlalu besar untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini kemampuannya memutuskan beberapa persoalan penting bagi bangsa dan negara. Jokowi patut diragukan.
Seharusnya dalam kedudukannya sebagai presiden, ia mengendalikan semua kebijakan pemerintah. Tapi dalam beberapa hal ia membuka wajah lemah kekuasaan yang ada dalam dirinya.
Ada rentetan ketidakmampuan yang memperlihatkan bahwa banyak problem yang terjadi dalam kepemimpinan Jokowi. Ada banyak janji yang diingkari beberapa saat menjadi Presiden.
Pengangkatan Jaksa Agung merupakan "kebohongan yang dibayar dimuka" pasca dilantik. Jokowi menjanjikan bahwa para menteri tidak boleh dijabat oleh Ketua Umum Partai, diingkari. Rencana yang paling disambut meriah publik untuk membentuk kabinet ramping dan profesional, justru membentuk kabinet dengan porsi yang gabuk dan sarat dengan politik balas budi serta bagi-bagi kekuasaan.
Apa yang pernah dijanjikan sebagian besar tidak ditepati bahkan diingkari. Ingatkah kita ketika gempa dan tsunami melanda beberapa daerah di Indonesia? Jokowi turun ke tempat bencana dengan menjanjikan pembangunan rumah bagi korban. Seperti korban gempa di NTB.
Membangun rumah korban bencana belum selesai, muncul lagi janji untuk membangun rumah bagi milenial dan tukang cukur. Semua memperlihatkan ciri inkonsistensi yang sangat memalukan.
Dari tahun 2014, janji Jokowi sudah menyebar dalam ratusan rupa. Dari mobil ESEMKA hingga ekonomi meroket. Buy back Indosat, hingga janji swasembada pangan yang menghasilkan impor merajalela. Semua itu hanya menjadi setumpuk janji yang tidak terealisasi.
Kita patut curiga ini semacam "itikad buruk" yang sedang disembunyikan dengan cara mengumbar janji baru lagi.
Semua problema itu mendesak Jokowi untuk mencari cara baru untuk menyembunyikan segala ketidakmampuan itu dengan menyebar trauma politik. Maka dirinya dianggap sebagai orang yang sabar dengan zero dosa.
Tapi fakta terus mengungkapkan dirinya dari persembunyian itu. Bahwa Jokowi tidak seperti yang dicitrakan oleh dirinya dan orang-orang terdekatnya.
Ia bukan penyabar, karena telinganya sangat sensitif ketika mendengar kritikan yang datang dari luar. Ia bukan sepenuhnya seorang pemimpin yang demokratis, karena HTI telah dibubarkannya.
Jokowi bukan seorang yang berprestasi "tingkat dewa" seperti yang diklaim. Ia tidak lebih baik dari presiden sebelumnya, ia hanya seorang presiden seperti yang dikatakan oleh Prof. Arbi Sanit sebagai "presiden kebetulan".
Apa yang didengungkan Jokowi dengan kerja, kerja, kerja juga tidak memberikan keberhasilan yang signifikan. Slogan kerja dengan mengutuk mereka yang berbicara malah menjadi titik balik Jokowi sendiri.
Ia sering menunjukkan wajahnya di depan kamera, di atas mimbar dengan berbicara bahkan menanggapi hal yang tidak terlalu penting. Seperti menanggapi berbagai isu yang berkembang tentang persoalan yang menjatuhkan elektabilitasnya. Seperti responsnya pada tagar #2019GantiPresiden hingga masalah yang remeh seperti menggambarkan diri dalam sudut kamera yang lucu.
Tetapi ketika ahli ekonomi, ahli hukum, aktivis HAM, mengkritik kelemahan Jokowi dalam bidang ini, maka sunyilah keadaan. Bahkan para menteri tidak berkutik. Seperti, ketika Rizal Ramli menantang Sri Mulyani untuk berdebat tentang masalah ekonomi.
Dalam konteks inilah otensititas Jokowi sama sekali tidak ada. Dalam diri Jokowi, menjadi otentik itu adalah merepresentasikan 'capaian' yang telah dikerjakan, bukan meraba apa yang akan dilakukan. Justru yang ditampilkan di hadapan publik adalah benturan argumentasi antara "Jokowi bicara kemarin dengan Jokowi bicara hari ini, dan bicara ke depan".
Inkonsistensi itu terlihat jelas dalam debat pertama. Dalam kesempatan itu sebenarnya adalah panggung Jokowi untuk mengumumkan prestasinya yang sering disebut "sebagai yang paling sukses". Tapi sayang, yang diperlihatkan adalah kekosongan prestasi, khususnya dalam bidang hukum secara keseluruhan.
Untuk menutupi itu, ia malah cenderung "nekat" menyerang individu Prabowo sebagai ketua partai, dengan alasan ada beberapa caleg dari Gerindra yang mantan napi korupsi.
Sementara sikapnya sebagai presiden dalam persoalan korupsi sama sekali tidak bisa dia gambarkan dan umumkan di hadapan publik. Ada banyak kader Partai pengusungnya yang terlibat korupsi dan ditangkap KPK.
Kenapa partai penguasa lebih "bersemangat" korupsi? Jokowi tidak memeriksa dari dalam, ia malah menyerang Prabowo dalam hal yang remeh temeh seperti itu. Mungkin ketika ia menyatakan mantan napi punya HAK dalam keadaan tidak sadar, dan menyebabkan dia lupa, bahwa dirinyalah yang menyetujui mantan napi korupsi jadi caleg.
Kalau ia memiliki komitmen dan otentisitas, ia tidak melakukan itu, karena tentu itu adalah cara yang nekat tetapi cenderung naif. Ketidakkonsistenan Jokowi dalam menyampaikan argumentasi menimbulkan kecurigaan. Jangan sampai ia seperti Mantan menteri Penerangan, Harmoko, yang selalu tampil di depan layar untuk menyampaikan "menurut petunjuk bapak presiden".
Artinya, ada dugaan bahwa oligarki dalam lingkaran Jokowi "menyelundupkan" pikiran mereka untuk disampaikan oleh presiden. Padahal seorang presiden, yang otentik, ia bukan hanya mencari jalan untuk menemukan sesuatu di luar dari dirinya dan kehendaknya sendiri, Akan tetapi, otentisitas bergerak lebih jauh lagi: "Jangan hanya ketahui dirimu sendiri, jadilah dirimu sendiri." Sehingga apabila keluar argumentasinya, ia tahu dan sadar.
Saya berkesimpulan, apa yang saya uraikan di atas sedang mengepung Jokowi dari berbagai sisi. Mulai dari persoalan, ekonomi, politik, hukum, HAM ditagih dari berbagai sudut. Jokowi tidak bisa memberikan jawaban, karena ia tidak memiliki argumentasi yang cukup untuk itu.
Apa yang dijanjikan dari tahun 2014, hingga "kenekatannya" berjanji ketika kekuasaannya sedang berjalan, padahal janji sebelumnya belum direalisasikan adalah ciri dari orang tidak konsisten, dan tidak punya manajemen pengelolaan negara yang baik dan benar.
Hal tersebut, memperlihatkan Jokowi yang sama sekali tidak memiliki otentisitas, ia hanya bisa menciptakan janji dan opini publik yang tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan ini cara yang biasa digunakan oleh lingkaran dalam di Kekuasaan jokowi. Dalam cara yang sama, ia menginterpretasikan dirinya taat hukum sebagai sebuah "peningkatan mutu" yang diterima secara pasif oleh publik.
Karena itulah, terjadi "perlawanan" masif dari publik, khususnya mereka yang tingkat Kemapanan berpikirnya bagus. Kelas menengah melihat kepemimpinan Jokowi "bermasalah", maka efeknya setiap ada vote di media efek electoral Jokowi kalah dengan Prabowo.
Justru pilihan pengguna media sosial dan yang mengkonsumsi media massa menjatuhkan pilihannya karena merasa telah "dibohongi". Ini menjadi titik balik untuk Jokowi, sehingga ia bisa terjungkal dan kalah jauh dari Prabowo dalam Pemilu 17 April 2019 yang tinggal menghitung hari. Wallahualam bis shawab.
*) Caleg DPR RI PBB Dapil DKI Jakarta 1 (Jakarta Timur)