Oleh: Nurrizal Ismail*
Dalam beberapa waktu terakhir, Istilah ‘akal sehat’ memiliki daya magnet yang luar biasa di tengah masyarakat. Istilah yang dipopulerkan oleh Rocky Gerung (RG) tersebut untuk pertama kali muncul dalam talk show, Indonesia Lawyers Club (ILC) di salah satu stasiun televisi swasta. Hal ini tak pelak membuat RG laksana selebritis di jagat media politik Indonesia. Tidak hanya itu, sejumlah tagar #AkalSehat pun berseliweran di media sosial seperti Twitter, Instagram, Facebook hingga Youtube.
Meski demikian, sebelum RG mengeluarkan pernyataan sederhana namun mengena itu, Islam telah muncul dengan slogan Akal Sehat sejak lama. Allah swt pun berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yunus ayat 10 yang berarti bahwa Sang Maha Kuasa menempatkan akal sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia.
“Dan tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah melimpahkan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS Yunus: 10)
Pun dengan sebuah syair arab populer di kalangan pesantren yang menyebutkan bahwa akal sehat selalu berada dalam badan yang sehat, al-‘aqlu al-salīm fi al-jismi al-Salim atau iẓā tamma al-‘aqlu qalla al-kalām yang berarti jika sempurna akal seseorang, maka sedikit pula perkataan atau omongannya.
Islam merupakan ‘fasilitas’ yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada manusia. Dengan akal, keberadaan manusia sebagai makhluk hidup dibedakan dengan kehidupan hewan ataupun tanaman. Begitu kata Ibnu Khaldun dalam karyanya yang monumental, Muqaddimah Ibnu Khaldun.
Jika Akal yang dimaksud oleh Ibnu Khaldun adalah proses berpikir, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas (SMNA) dalam bukunya “The Concept of Education in Islam” menjelaskan bahwa akal dapat diartikan menjadi 2 hal: berpikir rasional dan berpikir intelek.
Berpikir rasional diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami sebuah kata dan memformulasikan sebuah arti seperti penilaian, pemilihan, perbedaan dan klasifikasi. Al-Attas, sapaan SMNA, menambahkan jika berpikir rasional dapat juga diartikan sebagai upaya untuk memahami artikulasi dari kata-kata atau ekspresi dalam pola yang memiliki arti. Sedangkan berpikir intelek (Jiwa manusia yang terkait dengan akal) merupakan substansi spiritual, yang bersama jiwa rasional, berfungsi sebagai pengidentifikasi kebenaran dan membedakannya dengan kesalahan.
Istilah Ūlul Al-albab, untuk orang yang berakal, juga disematkan Allah swt kepada kepada manusia yang senanatiasa menggunakan akal sehatnya.
Allah Swt berfirman: “Dan dalam qiṣāṣ ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Al-Baqarah: 179).
Namun, andai manusia terlalu mengedepankan akalnya, bisa saja mereka mengatakan bahwa qiṣāṣ merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi, Allah swt memerintahkan manusia untuk berfikir tentang apa hakikat qiṣāṣ bukan untuk sekedar membenarkan kenyataan tapi untuk menjadi orang yang bertakwa.
Akal tidak bisa dibiarkan bergerak liar dan sembrono. Akal membutuhkan sarana lain agar ia mampu memperoleh sebuah kebenaran. Syeikh Ibnu Taiminyah, dalam karyanya Majmu’u Fatāwā, menyebut bahwa sarana lain yang dapat membantu akal ke performa puncak adalah naluri manusia serta Iman. Dengan kedua sarana tambahan itu, akal akan berfungsi sebagai mata yang mampu melihat jelas seperti halnya di siang siang hari. Sebaliknya, jika cahaya matahari di siang tidak ada, maka pengelihatan atau informasi yang seseorang butuhkan tentu saja akan sangat terbatas.
Sementara itu, Imam Ghazali dalam karyanya Shifā al-Ghalīl menyebut akal sebagai satu dari lima hal kemaslahatan yang harus dijaga dan diperjuangkan.
Lantas bagaimana cara menjaga akal agar tetap jernih dan sehat? Ghazali menjelaskan bahwa akal memperlukan nutrisi yang baik dengan selalu membaca Al-Qur’an ataupun Hadits serta menjaga tubuh fisik agar senantiasa berada dalam keadaan sehat. Tidak hanya itu, menghindari minuman mabuk, bacaan serta tontonan berisi konten pornografi dan lainnya adalah sebuah kewajiban agar akal tetap sehat.
Jadi orang cerdas atau orang berakal sehat tidak selalu diartikan sebagai orang yang mampu memilih siapa pemimpin yang baik dan layak untuk dipilih melainkan mereka yang mampu mengerti bahwa sesuatu hal itu adalah baik lantas mereka mencarinya. Atau sebaliknya, mengetahui hal buruk lantas ia meninggalkannya. Karenanya, memandang dunia dengan cara pandang Islam (Islamic Worldview) selalu menempatkan akal sehat dan pada Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai rujukan sekaligus pemandu utama. Wallāhu A’lam.
*) Penulis adalah Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia dan Peneliti ISEFID