Oleh: Muhammad Farras Fadhilsyah*
Debat kandidat adalah acara yang selalu di nantikan oleh masyarakat untuk memilih siapa yang pantas untuk dipilih sesuai dengan hati setiap orang masing masing. Dan debat juga menjadi alat untuk mengukur sebuah elektabilitas sebuah paslon. Debat kedua capres sudah kita saksikan bersama, setiap debat memiliki evaluasi nya masing-masing dari setiap paslon. Walaupun dalam perdebatan siapapun tidak bisa mengatakan siapa yang menang atau yang kalah karena hal itu adalah hal subjektif.
Dalam perdebatan kemarin memang pasangan capres 01 lebih sering mangatakan sebuah argumen data dan hasil kebijakan yang telah dilakuka Seharusnya sebagaiseorang petahana dengan mudah untuk mengikuti debat ini, karena ia bisa mengatakan argumen yang sifatnya laporan apa saja yang telah dijalankan di masa berkuasanya. Berbeda dengan kubu penantang yang masih dalam tahap argumen yang berandai-andai dan memberi harapan saja.
Debat tidak mutlak dengan berbicara dengan data ataupun hasil kebijakan akan membuat elektabilitas meningkat. Mari kita melihat ke belakang dimana debat dalam Pilkada DKI Jakarta yang dimana Ahok sebagai petahana sangat lihai dalam berargumen dengan memberikan data yang sangat jelas, berbeda dengan kubu lawan nya yaitu Anies dimana ia lebih ke pendekatan retorika emosional.
Dan kenyataanya setiap debat telah usai elektabilitas Anies lah yang terus meningkat waktu demi waktu. Begitu juga dalam Pilpres di Amerika 2016 dimana Donald Trump memenangkan Pilpres tersebut dengan menarik sauara dari pemilih irasional. Ini menandakan bahwa ada yang lebih penting dari sebuah argumen data di dalam debat,
yaitu pendekatan emosional.
Faktor emosional/pendekatan psikologi sosial ini sangat bermain penting dalam setiap debat atau pun argumen karena indonesia memiliki karakter dengan sifat ketimuran seperti iba (rasa belas kasihan). Watak ini lah yang menjadi dominan dimana permainan retorika emosinal lebih penting di saat ini dalam debatnya.Dan data hanyalah sebagai pemanis.
Tingkat kualitas pendidikan Indonesia saat ini yang masih rendah juga menjadi efek dimana pemilih irasional cukup tinggi. Masyarakat tidak mementingkan sebuah data karena mereka mungkin tidak mengerti apa yang di maksudkan, melainkan dengan kata-kata retorika yang mendekatkan dengan sentuhan emosional itulah yang lebih mudah diingat oleh masyarakat. []
*) Mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia/Pengamat Politik Milenials