GELORA.CO - Kritik mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor Jawa Timur, Choirul Anam (Cak Anam) atas pengusungan mantan Rais Aam NU KH Maruf Amin sebagai calon wakil presiden mempertegas dugaan bahwa NU ingin “main dua kaki” di Pilpres 2019.
Begitu kata analis politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (27/2).
Menurutnya, perbedaan pandangan di tataran struktur NU lumrah terjadi. Bahkan hal tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya.
“Kalau kita mencermati, itu NU itu dari dulu memang nggak mau ‘main satu kaki’. Mereka ingin memang ‘main dua kaki’. Jadi nggak ada resiko. Itu yang pertama,”
“Siapapun yang menjadi presiden, NU yang menang banyak gitulah kira-kira,” katanya.
Buktinya, sambung Pangi, pada Pemilu 2014 lalu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mendukung Prabowo Subianto.
Tapi di satu sisi, Kiai Said membebaskan warga NU untuk memilih calon pemimpinnya.
“Said Aqil Siradj dukung Prabowo tahun 2014 kita tahu itu, tapi di bawah-bawahnya kan dukung Jokowi,” tekannya.
Cak Anam mengatakan bahwa NU mengalam pelemahan secara organisasi. Hal itu lantaran capres petahana, Joko Widodo menarik Ketua Rais Aam PBNU KH Maruf Amin sebagai cawapres.
Posisi Maruf sebagai cawapres, sambungnya, turut membuat internal PBNU bergejolak dan akhirnya terseret dalam muatan politis yang dalam.
Untuk diketahui, mantan Ketum GP Anshor Jawa Timur, Choirul Anam, menyebut melemahnya Nahdlatul Ulama (NU) secara organisasi karena petahana Joko Widodo menarik Ketua Rois Am PBNU KH Maruf Amin sebagai cawapres.
Tokoh NU yang disapa Cak Anam itu berpendapat, posisi Maruf sebagai cawapres turut membuat internal PBNU bergejolak dan akhirnya terseret dalam muatan politis yang dalam.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai pernyataan Cak Anam ada benarnya.
“Maruf Amin diambil oleh Jokowi untuk meng-counter gerakan-gerakan Islam lainnya. Secara politik sah-sah saja jika Jokowi memerlukan Maruf Amin,” ungkap Ujang kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (27/2).
Walaupun ada risiko besar yang dihadapi oleh PBNU seperti disebutkan Cak Anam, Ujang melihat itu sebagai konsekuensi logis dari pilihan PBNU.
“Dalam politik itu biasa ada tarik menarik kepentingan. NU, Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya memang secara organisasi tidak boleh berpolitik,”
Tapi ketika individunya masuk sebagai kandidat, mau tidak mau secara emosional organisasi pasti akan terbawa,” pungkasnya.
Cak Anam sebelumnya menduga NU secara struktural sudah ditunggangi oleh kepentingan politik praktis. Dia juga menyebut Nahdliyin kini terpecah-belah karena itu.
“Nahdliyin terus saling curiga. Kenapa? Gara-gara Jokowi mencomot Rais Aam tanpa musyawarah. Itu jantungnya NU diambil. Berarti lumpuh. Ini yang jadi persoalan,” ungkapnya.
Sebelumnya, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno melihat kondisi kegelisahan yang dirasakan warga Nahdliyin karena adanya kekosongan jabatan Rais Aam.
“Rais Aam ini posisi strategis dan untuk menggantinya perlu mekanisme yang sedikit rumit karena tidak semua kader NU bisa menjadi rais am. Ini yang saya kira jadi kegelisahan Cak Anam,” ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (27/2).
Posisi Kiai Maruf sebagai rais am PBNU saat ini belum tergantikan. Dia hanya cuti sebagai rais am karena maju sebagai calon wapres di Pilpres 2019.
Menurut Adi, pernyataan Cak Anam juga secara tersirat menyebutkan bahwa posisi NU dalam dinamika pilpres sangat penting.
“Posisi NU ini sangat penting dalam tarik menarik kepentingan politik menjelang pilpres. Saya kira itu yang ingin disampaikan oleh Cak Anam,” jelasnya. [psid]