GELORA.CO - Program angkutan barang bersubsidi melalui jalur laut atau yang dikenal dengan proyek tol laut, hingga tahun keempat pelaksanaannya, dinilai belum optimal.
Disparitas harga antara kawasan barat dengan kawasan timur Indonesia hanya mampu dikurangi 10-15 persen.
Koalisi masyarakat yang tergabung dalam Barisan Pemeriksa Kondisi Proyek (BPKP) memaparkan, hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, Kementerian Perhubungan menunjukkan proyek tol laut berada pada skala kurang dari 75 persen atau tidak efektif.
Pengurangan disparitas harga itu rata-rata hanya terjadi di kota-kota pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal tol laut. Padahal kota-kota ini telah banyak dilayani kapal niaga swasta.
Di daerah Terluar, Tertinggal, dan Terisolasi atau 3T yang menjadi sasaran utama proyek, BPKP juga menemukan disparitas harga masih sangat tinggi, berkisar antara 40 persen hingga di atas 100 persen. Ini karena keterbatasan angkutan pelayaran rakyat, moda transportasi darat, dan akses jalan darat ke wilayah-wilayah tersebut
Ketua Presidium BPKP Rusmin Effendy mengatakan, alih-alih menguntungkan pengusaha kecil dan menengah, tol laut justru menguntungkan perusahaan ekspedisi besar.
Pasalnya, perusahaan-perusahaan itu memborong slot kontainer di kapal-kapal tol laut yang disubsidi negara dan kemudian menjual jatah kontainer itu dengan tarif lebih mahal daripada tarif subsidi.
"Inilah jahatnya perusahaan-perusahaan ekspedisi besar. Mereka memborong slot kontainer di kapal-kapal tol laut yang disubsidi negara. Setelah itu mereka menjual jatah kontainer itu dengan tarif lebih mahal daripada tarif subsidi," beber Rusmin di Jakarta.
Padahal, sambung dia, dengan tarif angkut yang lebih murah 50 persen daripada kapal niaga swasta, kapal tol laut semestinya dimanfaatkan oleh pengusaha kecil dan menengah, terutama yang berada di kawasan timur Indonesia.
"Tapi faktanya mana?” tegas Rusmin.
Tak hanya itu persoalannya, menurut Rusmin, muatan balik kapal tol laut pun jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan muatan berangkat, yakni pada kisaran kurang dari 5 persen.
Ketiadaan sentra-sentra industri di kawasan timur juga dicermatinya menjadi faktor penyebab kecilnya muatan balik kapal-kapal tol laut.
Rusmin menyimpulkan, semua itu terjadi karena kebijakan proyek tol laut tak terkoordinasikan baik dengan sejumlah pemangku kepentingan seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah daerah.
Proyek tol laut seakan berjalan eksklusif di bawah kendali Kemenhub. Akibatnya, manfaat proyek hanya dinikmati daerah tertentu dan kalangan tertentu.
"Jangan ada ego sektoral. Ini juga tak sejalan dengan slogan Presiden Joko Widodo yang pernah menyatakan bahwa pemerintahannya tak akan memunggungi laut," kata Rusmin.
Terkait hal tersebut, BPKP meminta pemerintah untuk meningkatkan koordinasi antar-kementerian dalam melaksanakan proyek tol laut. Karena ada banyak hal yang tak bisa ditangani Kementerian Perhubungan, seperti pendistribusian barang, pengendalian pasar, pemanfaatan hasil pertanian dan perikanan, dan pengembangan industri di kawasan timur.
Pemerintah pusat juga harus menginstruksikan pemerintah daerah untuk memprioritaskan tol laut, terutama dalam penjualan barang tol laut di daerah pedalaman dan pengangkutan hasil pertanian dan perikanan melalui kapal tol laut.
“Sekali lagi, tujuannya kan untuk masyarakat banyak. Pemerintah seharusnya memperbanyak angkutan pelayaran rakyat dari pelabuhan singgah ke pulau-pulau di sekitarnya serta memperbaiki akses jalan publik dan menambah moda transportasi darat ke daerah 3T," terang Rusmin. [rmol]