Oleh Ifa Mufida
(Praktisi kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial)
Facebook telah secara tegas menghapus akun yang terlibat ke dalam Saracen. 31 Januari 2019, pihak Facebook mengumumkan penghapusan ratusan akun termasuk milik Permadi Arya alias Abu Janda, dengan rincian 207 Facebook Pages, 800 akun Facebook, 546 Facebook Groups dan 208 akun Instagram. Facebook menyebut akun Abu Janda berhubungan dengan grup Saracen.
Grup Saracen merupakan salah satu grup produsen informasi bohong, polisi mengungkap jaringan ini sekitar tahun 2017. Saracen juga disebut sebagai kelompok penyebar isu berbau suku, agama, ras, dan antar golongn (SARA) yang kerap menyebar proposal ke sejumlah pihak yang menyatakan bisa menyebar isu bernuansa SARA.
Direktur tindak pidana siber bareskim Polri, Brigjen Faril Imran pernah mengatakan kelompok saracen adalah buzzer yang dibayar untuk menyebarkan ujaran kebencian atau hate speech bernuansa SARA hingga berita hoax. Mereka memiliki pengikut hingga ratusan ribu akun. Saracen tidak hanya menyangkut atas dugaan fitnah dan sebagainya, namun memang sering dimunculkan sebagai ancaman terhadap negara dengan komentar dari para elite hingga seolah-olah telah menyerang pemerintah dan pendukungnya.
Namun kembalinya kasus Saracen di awal tahun ini, nampaknya telah membuat realitas saracen ini berbeda. Kasus yang menimpa salah satu aktivis media sosial yang terindikasi saracen ini, menjadi bukti bahwa realitas saracen hanya digunakan untuk memberangus lawan politik penguasa. Sebab meski sudah ada pengakuan sebagai penebar hoax, tapi pelaku terindikasi saracen ini dibiarkan penguasa.
Politisi Andi Arif pun merespon pedas kasus ini. Ia menyatakan bahwa presiden lembek mengatasi saracen ini bahkan cenderung bertekuk lutut di hadapan saracen. Ia meyakinkan bahwa facebook salah satu perusahaan IT terbaik yang algoritmanya persisi. Seharusnya hal ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk segera menindaklanjuti kasus ini, namun justru hal ini menjadi blunder.
Sudah jadi rahasia umum, bahwa hukum saat ini nampak secara gamblang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Bukan ditegakkan atas nama keadilan. Hukum selalu bersifat tumpul terhadap kawan dan tajam kepada lawan. Buktinya, banyak laporan yang mengidikasikan keterlibatan tokoh pro pendukung penguasa akhirnya mangkrak tidak ada tindak lanjut, seperti kasus Ade Armando, Sukmawati Viktor Laiskodat, Abu Janda, dan lainnya tenggelam tidak diproses. Karena, mereka berdiri di sisi kubu penguasa. Sedangkan, jika laporan terhadap kubu oposisi dan umat Islam (khususnya) akan diproses secepat kilat.
Kita tentu ingat saat hukum begitu cepat menindak Buni Yani hanya karena mengunggah bukti nyata ujaran kebencian dan penistaan oleh Ahok. Namun umat perlu melakukan aksi berjilid-jilid hingga harus turun jutaan orang untuk meminta keadilan agar Ahok penista agama segera diproses hukum.
Setelah itu, banyak ulama dan aktivis Islam bahkan ormas Islam yang menjadi tumbal ketidakadilan hukum karena lantangnya mereka bersuara atas kezhaliman penguasa. Sebut saja Habib Riziq Shihab, Ustadz Alfian Tanjung, Ustadz Al khaththath, Munarman, hingga Ahmad Dhani dan yang terbaru Ustadz Slamet Ma’arif.
Dalam sistem Demokrasi memang tidak ada jaminan hukum bisa tegak sebagaimana mestinya. Hukum hanya berpihak kepada kepentingan politik penguasa. Apalagi kebebasan berpendapat dalam sistem politik demokrasi telah dibugkus dengan ambisi kekuasaan yang meniscayakan lahirnya aktor-aktor yang senantiasa memprovokasi jalannya misi-misi melanggengkan jalannya kekuasaan.
Penguasa boleh pongah dengan kekuatannya mengendalikan hukum untuk membungkam kesadaran politik dan jeritan umat atas kezhaliman mereka. Namun ingatlah bahwa Allah SWT adalah pemilik kekuasaan hakiki. Siapapun yang sesumbar menebarkan kezhaliman maka Allah akan tumbangkan pelaku kezhaliman itu. Karena Ia Maha Mendengar doa-doa orang yang terzhalimi.
Sungguh kita merindukan keadilan benar-benar tegak di muka bumi. Allah SWT Yang Maha Adil sesugguhnya telah memberikan seperangkat aturan dan sistem kehidupan yang benar-benar mampu mewujudkan keadilan tanpa pandang bulu. Sistem Islam telah menggariskan bahwa penguasa harus berdiri dengan pondasi ketaqwaannya. Bahwa ketakutan tertinggi dalam melaksanakan amanah melayani urusan umat adalah ketakutan kepada Allah saja.
Penguasa tidak seharusnya demen kepada pencitraan yang menipu. Justru seharusnya harus senantiasa merasa diawasi Allah SWT, bukan takut diawasi oleh penyokongnya. Ia bertindak dan berucap dengan landasan syariat saja. Bukanlah penguasa yang takut jika kekuasaannya hilang, bahkan takut terhadap para kapitalis pemilik modal yang mengusungnya. Bukan pula hukum yang lahir dari terbatasnya akal manusia. Karena jika demikian hukum akan mudah ditafsirkan sesuai dengan kehendak penguasa atau pembuatnya. Pasal karet, multitafsir, sebagaimana UU ITE yang telah memakan banyak korban ketidakadilan adalah bukti nyata. (*)