Oleh: Asyari Usman*
Dalam kondisi tak berdaya pun, Ustad Abu Bakar Baasyir (ABB) masih bisa membuat penguasa kucar-kacir. Kabinet Jokowi dibuat bertengkar secara terbuka setelah Presiden menyetujui pembebasan Ustad dengan menganulir semua syarat pembebasan bersyarat.
Syarat itu antara lain Ustad ABB harus menandatangani pernyataan kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI.
Gara-gara persyaratan inilah, konon, pembebasan beliau yang seharusnya bisa dilakukan pada 23 Desember 2018, tak jadi terlaksana. Ceritanya, sejak 2017 keluarga Ustad mengajukan permohonan bebas karena telah memenuhi syarat menjalani 2/3 hukuman 15 tahun. Tapi, karena Ustad berkeras tak mau mengikuti syarat yang ditentukan itu, tak jadilah beliau dilepas.
Kemudian, datanglah Prof Yusril. Dia menyarankan kepada Jokowi agar ‘menganulir’ syarat-syarat itu. Jokowi pun setuju. Demi pertimbangan kemanusiaan. Dan mungkin juga demi ‘dampak lain’. Misalnya, dampak elektabilitas Jokowi di mata umat Islam. Kata Pak Yusril lagi (dalam wawancara dengan KompasTV), Jokowi “tak suka melihat ulama berlama-lama di dalam penjara”. Wallhu a’lam.
Setelah kabar pembebasan itu tersiar, bermunculanlah keberatan dari berbagai pihak. Rata-rata kubu Jokowi tidak setuju. Mereka itu kelihatannya adalah golongan yang tak mengenal kompromi bila itu menyangkut orang Islam. Kalau dipetakan, sesungguhnya mereka boleh dikatakan sekubu dengan kelompok anti-Islam yang berhaluan radikal. Kalau pun tak sekubu, mereka itu hampir pasti bertetangga.
Keberatan terhadap pembebasan Ustad Baasyir juga datang dari Australia. Tetapi, Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa diatur oleh Australia.
Dua hari setelah Jokowi setuju membebaskan Baasyir, pecahlah perselisihan di Kabinet. Menko Polhukam Wiranto mengeluarkan pernyataan (21/01/2019) bahwa pembebasan itu masih memerlukan pertimbangan aspek-aspek lain lebih dahulu. Sampai-sampai Wiranto mengatakan bahwa Presiden tidak boleh ‘grasa-grusu’. Tak boleh tergesa-gesa.
Sekarang, Presiden Jokowi mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai presiden yang telah mengambil keputusan untuk membebaskan Ustad ABB. Ini sangat krusial. Krusial karena menyangkut ‘kecakapan’ dan ‘independensi’ Presiden. Plus juga wibawa beliau. Isu ini akan menjadi barometer untuk menentukan apakah Jokowi ‘cakap’ atau tidak. Paham atau tidak.
Orang-orang senior di kubu Jokowi berusaha menunjukkan bahwa gonjang-ganjing pembebasan Ustad ABB bukan salah Jokowi melainkan salah Yusirl Ihza. Jurubicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Ko-Ruf, Razman Arif Nasution, menyesalkan manuver Yusril yang tidak berkoordinasi dengan TKN soal pembebasan Ustad Baasyir.
Sedangkan kolumnis pro-Jokowi, Denny Siregar, mencoba memoles keputusan Jokowi untuk membebaskan Ustad. Dia antara lain menulis bahwa Jokowi membebaskan Baasyir sebagai bentuk strategi ‘rangkul’ kaum radikal. Bukan stategi ‘pukul’ seperti yang dilakukan oleh Presiden Basaar Al-Assad di Suriah. Kata Denny Siregar, pembebasan Baasyir menunjukkan bahwa Jokowi adalah seorang visioner, melihat jauh ke depan.
Kita tunggu apa yang akan dikatakan oleh Denny setelah pembebasan itu dibatalkan. Barangkali dia akan mengatakan Jokowi visioner, demisioner, revolusioner, takbener, dlsb.
Diperkirakan, ke depan ini akan berlangsung tarik-menarik antara Yusril dan orang-orang yang tak setuju pembebasan Baasyir. Publik akan menyaksikan ke mana Jokowi akan berpihak. Isu ini akan menjadi sangat berat. Sebab, Jokowi bagaimana pun juga masih melihat saran-saran YIM sangat cocok untuk dilaksanakan.
Namun, di lain pihak, kubu Jokowi di TKN maupun di kalangan publik luas tak bisa menghilangkan kesan bahwa Yusril bisa memunculkan masalah besar bagi Jokowi. Mereka tidak suka pada pengacara yang sangat percaya diri itu.
Kita akan melihat perkembangan yang menarik dalam hari-hari mendatang ini. Para menteri senior pastilah ingin segera melenyapkan kesan bahwa Kabinet Jokowi dibuat kucar-kacir oleh Ustad Baasyir. [swa]
*) Penulis adalah wartawan senior