GELORA.CO - Pakar infrastruktur, Bambang Susanto Priyo Hadi, MPA mengemukakan, banyak kelemahan fatal dalam pembangunan infrastruktur di pemerintah Jokowi, khususnya di sejumlah ruas jalan tol. Sementara itu tariff yang mahal membuat para sopir kendaraan umum menghindari tol.
“Selama ini banyak pihak yang mengatakan bahwa di periode pertama pemerintahan Jokowi telah dibangun sekitar 900 km jalan tol dari total 1.800 sekian kilometer jalan tol. Angka-angka ini sesungguhnya belum menunjukkan sesuatu yang luar biasa di sektor pembangunan infrastruktur,” kata Bambang Susanto Priyo Hadi, MPA dalam diskusi Indonesia Pasca Jokowi “Pembangunan Infrastruktur Untuk dinikmati, Siapa?” di Media Center Prabowo-Sandi Jalan Sriwijaya I Nomor 35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (30/1/2019).
Menurutnya, pembangunan jalan tol yang dilakukan saat ini hanya akan memenuhi kebutuhan sesaat, yakni kebutuhan di hari libur nasional seperti lebaran, natal, atau tahun baru. Tapi, di hari lain, sepi.
“Di hari lain, silahkan lihat, kosong dan sepi sekali. Kalau kita lihat jalan tol menuju ke Cirebon, mana yang ramai? Kecuali di 15 hari itu (lebaran, natal tahun baru) penggunaannya itu,” ungkapnya.
Masalah kedua, yakni pembangunan jalan tol saat ini juga dinilainya kurang direncanakan dengan baik. Termasuk upaya pembangunan jalan tol bertumpuk (layang) yang menyedot terlalu banyak biaya.
“Harga tol mahal sekali karena tidak menggunakan teknologi yang umum, seperti tol bertumpuk atau layang, sekitar 500 milyar per km. Kalau jalan tol biasa setengahnya saja tidak sampai. Jalan tol ini juga hanya untuk memenuhi kebutuhan tertentu,” ucapnya.
Kemudian, masih menurut Bambang, sistem pembangunan jalan tol juga tidak pernah direncanakan dengan melakukan integrasi dengan jalan-jalan lainnya. Padahal, dalam melakukan pembangunan infrastruktur, yang harus diutamakan adalah penambahan pembangunan jalan arteri atau jalan negara.
“Yang paling penting disediakan adalah bukan jalan tol, tapi jalan arteri atau jalan negara. Di UU disebutkan jalan tol hanya sebagai jalan alternatif,” kata Bambang.
Dirinya mencontohkan, efek pembangunan jalan tol juga mengakibatkan masyarakat lebih memilih menggunakan angkutan pribadi ketimbang angkutan publik. Seharusnya, pemerintah bisa menyeimbangkan antara kebutuhan penambahan infrastruktur jalan tol dengan arteri, termasuk jalan-jalan penghubung lainnya.
“Posisi inilah yang kami katakan, apa yang selalu digambarkan gemborkan jalan tol, pertama kemanfaatan jalan tol hanya sesaat, kedua tidak tersambung dengan sistem di bawahnya dengan baik. Terjadi bottle neck. Ketiga, pemanfaatan yang berlebihan kepada angkutan pribadi dibanding angkutan umum,” ujarnya.
Infrastruktur Perumahan
Pembicara lainnya, yakni pakar pembangunan daerah, Agung Mulyana, berbicara bahwa saat ini pemerintah juga nampak kurang memperhatikan masalah peningkatan kebutuhan infrastruktur di bidang perumahan rakyat.
Menurut Agung, pemerintah seharusnya tidak hanya menargetkan satu juta rumah tiap tahunnya, tapi juga menjalankan program pembangunan perumahan untuk semua.
“Sistem penyediaan rumah, juga masih tidak jelas, termasuk dukungan sistem administrasinya. Kebijakan di bidang perumahan tidak terpadu dan kurang jelas komandonya. Tidak singkronya antara pusat dengan pemerintah. Program kedepan pemerintahan sebaiknya adalah pembangunan perumahan untuk semua,” ungkapnya. [HT]