OLEH: MARGARITO KAMIS
PRESIDEN di dunia manapun, tidak akan, dan tidak bakal menemukan cara untuk mengisolasi dirinya dari tuntutan rakyat agar kekuasaan yang dimandatkan kepadanya digunakan dengan sebaik-baiknya.
Cita-cita konstitusionalisme Indonesia mengharuskan presiden mengabdikan kekuasaan untuk memastikan, tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga tumpah darah Indonesia terlindungi.
Kekuasaan yang diselenggarakan presiden menurut cita-cita dari konstitusi, harus untuk mensejahterakan rakyat. Harus membuat rakyat menjadi cerdas.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, kekuasaan presiden tersebut, harus digunakan juga untuk memastikan dunia tertib. Ikut serta dalam setiap usaha membuat dunia tetap tertib. Menurut cita konstitusi, harus bertolak dari kemerdekaan dan perdamaian abadi
Berkelas cita konstitusional itu, terlihat mudah. Tetapi semudah apapun cita itu, dibutuhkan kualifikasi khas, dan khusus. Kualifikasi tertentu untuk dipenuhi sebagai seorang presiden.
Demi mencapai cita itu, konstitusi memberi kualifikasi presiden sebagai chief administrator, chief legislator, chief foreign police maker, commander in chief dan chief of state. Ini kualifikasi yang sangat berkelas. Bukan kualifikasi yang grasa-grusu.
Dalam soal administrasi, presiden memiliki peranan ganda. Selain sebagai chief administrator, presiden juga memiliki kualifikasi sebagai chief of law enforcement officier. Dapat dikatakan dalam konteks itu, presiden memegang bukan hanya peranan, melainkan fungsi sebagai pembentuk dan pelaksana atau apa yang biasa disebut penegak hukum.
Deretan kualifikasi konstitusional yang disandang presiden, memanggil kompetensi untuk bicara pada kesempatan pertama. Presiden mustahil diminta menerangkan semua hukum. Itu bukan pekerjaan presiden. Tetapi tidak mustahil meminta, bahkan mengharuskan presiden cermat, detail dan tidak tergesa-gesa melontarkan gagasan, apalagi mengambil tindakan.
Sekarang ini terlihat ada masalah. Pertanyaannya, sebagai capres tentang caleg mantan narapidana kasus korupsi, yang ditujukan kepada Pak Prabowo dalam debat pertama, terasa menggelikan. Mengapa? Sebab di UU 7/2017, yang presiden ikut membahas dan memberi persetujuan bersama DPR. Mengapa Presiden tidak melarangnya?
Larangan terhadap mereka yang mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi caleg itu merupakan kebijakan KPU. Regulasi itu diatur dalam Peraturan KPU. Dalam kenyataannya, larangan itu telah dianulir oleh Mahkamah Agung, sebagai larangan KPU itu bertentangan dengan UU.
Konsekwensi hukumnya, mantan terpidana kasus korupsi memiliki hak mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau DPRD. Penandatanganan atas pencalekan mereka, tidak dapat, dengan alasan apapun, dikategorikan sebagai tindakan tercela. Tidak bisa juga, suka atau tidak, senang atau tidak, dikategorikan sebagai tindakan tak etis.
Menandatangani pencalegan mantan napi kasus korupsi juga bukan tindakan melawan hukum. Maka pertanyaan bernuansa meremehkan derajat kepantasan etis atas penandatanganan pencalegan mereka, sejatinya tak memiliki pijakan nalar.
Meskipun pertanyaan itu sekadar demonstrasi simpati etis sebagai capres atas pemberantasan korupsi, juga tak bernalar. Sebab dalam kedudukannya sebagai Presiden, beliau memiliki kans untuk mentransformasi rasa etis itu menjadi rumus hukum.
Mustahil mengatakan Presiden tidak memiliki kompetensi dalam urusan hukum. Tetapi menyatakan bahwa pembebasan Pak Ba’asyir mesti berkerangka bebas bersyarat. Padahal sebelumnya Presiden hendak memberikan “bebas tanpa syarat”. Alasan yang dikemukakan Presiden adalah masalah kemanusiaan. Alasan ini jelas mengundang tanya atas kompetensinya
Presiden memang tak mungkin diminta membuka, dan membaca buku hukum. Sebab itu bukan pekerjaan Presiden. Tetapi Presiden mendahulukan dan membekali rencana dengan cara mengorganisir seluruh, atau setidaknya sebagian elemen administrasi dalam lingkungan pemerintahannya.
Tujuannya agar Presiden dapat mengidentifikasi, menganalisis semua soal. Ujungnya, Presiden bisa menemukan hukum yang tepat, jelas dan imperatif sifatnya. Begitulah cara kerja Presiden yang benar dan berkelas
Perbaikilah keputusan yang berubah-ubah itu. Sebab keputusan yang tak dapat ditebak dan tidak menentu, adalah penanda absah atas bobot kompetensi Presiden. Untuk itu, kenalilah fakta hukum yang ada. Bila fakta berubah, maka ubahlah tujuannya
Setelah kenali fakta, refisilah tujuan tersebut. Sesuaikan dengan tingkat tantangan yang harus dipecahkan. Itulah yang dilakukan oleh Winston Churchil. Dengan begitu pula yang membuat Churchil gemilang dalam perang dunia kedua. Churchil gemilang, karena berhasil menyelamatkan Inggris dari gempuran Jerman.
Politik memang tak selalu menandai alamnya dengan rindu terhadap nalar yang berkapasitas tinggi. Alam politik sering menjadi alam yang menyepelekan akal sehat. Cukup sering alam politik tak menjadikan pertukaran gagasan berkelas sebagai alam pijakannya
Dalam dunia politik pemerintahan, membuat keputusan adalah pekerjaan menempatkan fakta dan nalar pada kesempatan pertama. Politik berkerangka pertarungan menang kalah sering menjadi sumbu capres memberi gambaran defenitif kepada pemilih tentang siapa dia.
Pertanyaan capres Jokowi ke Pak Prabowo tentang caleg mantan narapidana kasus korupsi pada debat pertama, dapat dilihat dalam kerangka itu.
Pertanyaan Pak Jokowi mengenai caleg mantan narspidana korupsi ini, seakan menempatkan Pak Prabowo sebagai kandidat yang tak memiliki sense of against corruption. Sayangnya, pertanyaan itu lemah pijakan nalar. Nalarnya sulit untuk dapat dicerna. Sulit juga untuk mengatakan bahwa ini pertanyaan yang tidak logis
Tidak logis, karena hukum membenarkan tindakan pencalegan mereka yang pernah dihukum melakukan tindak pidana korupsi. Apalagi korupsi yang ditemukan KPK di sejumlah kementerian berbicara sendiri. Temuan KPK membantah, mengisolir, dan menenggelamkan daya simpati pertanyaan Pak Jokowi tersebut.
Cara rekruitmen aparatur sipil negara memang dilakukan secara terbuka. Hasil testnya juga dapat diketahui bersamaaan dengan berakhrnya tes. Itu mungkin saja hebat. Tetapi kapan soal itu terpublikasi sebagai gagasan Presiden memperluas jangkauan jaring pemberantasan korupsi?
Keberadaan tim atau satgas anti pungli, jelas merupakan jaring lain Presiden dalam pertempuran melawan korupsi. Tetapi kapan napas Presiden digunakan menemukan ide itu?
Berbeda dengan soal pertama. Beberapa analis politik telah begitu tergoda, tetapi tidak dapat dikatakan tergesa-gesa untuk mempertimbangkan bukan kapasitas Presiden. Melainkan kenyataan Pak Presiden keluar dari rencana “membebaskan tanpa syarat” Pak Abubakar Baasyir.
Kenyataan itu ditunjuk sebagai cara beliau hendak memungut suara kalangan Islam. Padahal telah ada Pak Ma’ruf Amin. Suara pemilih Islam memang jelas dan menggiurkan. Suara pemilih Islam terbanyak
Meraup suara pemilih Islam dengan menampilkan tindakan simpatik, jelas merupakan kreasi bagus. Menemukan dan menyodorkan dimensi kemanusiaan Pak Baasyir, sebagai cara yang oleh sebagian analis diidentifikasi menyediakan peluang memicu simpati dan kredit dari pemilih Islam. Entah berapa banyak orang yang mengalihkan dukungan kepada capres yang juga Presiden yang hebat ini
Keputusan Presiden menghentikan rencana yang telah diumumkan, karena rencana tak cocok dengan hukum yang berlaku, jelas bukan perkara biasa. Tidak biasa bukan karena Pak Baasyir tak bebas tanpa syarat. Tidak biasa juga karena Presiden chief of law enforment officier adalah figur yang menandai kewibawaan hukum kita
Kewibawaan hukum, dalam masyarakat manapun, terekspos sebagai kunci kewibawaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Disitulah letak tidak biasanya. Disitu pula letak soalnya.
Presiden tak mungkin bisa menghindar dari penilaian-penilaian kontroversial. Itu sangat tidak mungkin. Walaupun demikian, Presiden tak boleh grasa-grusu.
Presiden sekontroversial apapun, mesti merindukan catatan sejarah kelak di kemudian hari sebagai presiden yang top berkompetensi. Presiden yang berkelas dan berwibawa. Untuk itu, Presiden harus memiliki tujuan yang terukur. Keputusan Presiden tak boleh berubah-ubah.
Keputusan Presiden harus dapat ditebak, apalagi untuk urusan hukum. Presiden mesti tampil sebagai politisi terbaik. Muncul dan tampillah dengan ide yang melampaui ruang dan waktu
Gelorakanlah gairah menggunakan akal sehat. Gairah yang menawarkan jalan harapan hari esok yang hebat. Tunjukanlah gairah itu dalam sisa waktu pemerintahan ini
Memang spektrum kampanye pilpres memerlukan satu dua kata pendek dan tindakan kecil. Tindakan yang juga memiliki daya godaan tinggi. Itu cara termudah meminta orang mengingatnya. Itu pula cara termudah memantik luapan simpati
Orang besar, dalam situasi apapun, tak bakal mempersempit kebutuhan mengenali fakta yang benar. Fakta itulah yang digunakan dalam merancang dan membuat keputusan yang benar. Jadilah orang besar. Cerdaskanlah bangsa ini dengan kecerdasan khas orang besar.
Bangsa ini sedang menempatkan kebutuhan mendapatkan orang besar sebagai prioritas pertama dan utama. Pemimpin itu jadi pemandu. Memandu dengan ide besar dan tindakan berkelas. Sebab bangsa ini membutuhkan pemimpin sekelas itu.
Bangsa ini tidak bisa dipertaruhkan untuk hal, yang menurut akal sehat bisa dihindari. Tidak bisa, itu tidak tepat dan tidak bagus. Berusaha dan perbaikilah selagi ada waktu. Hindarilah kebijakan yang grasa-grusu.
Merakyat dan meringankan derita rakyat, harus dipastikan melalui orientasi substansial di keputusan. Bukan dengan cukur rambut secara terbuka. Berbagi dan gemarkanlah ide besar di tengah bagi-bagi sertifikat tanah itu
Berpopulis ria itu mungkin oke. Masalahnya soal pemerintahan, hukum, sosial budaya, lapangan kerja, harga-harga cabe, kol, kentang, teknologi, dan lainnya tidak bisa dipecahkan dengan populisme grasa-grusu. Populisme yang selalu artifisial itu.[wid]
Penulis Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate [rmol]