GELORA.CO - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, menjadi pembicaraan hangat sejumlah kalangan, terutama terkait dukungan Gatot pada Pilpres 2019 mendatang. Meski Gatot menyatakan belum menentukan sikap di pilpres, namun sejumlah kalangan berspekulasi pertemuan tersebut terkait dukungan pada pilpres nanti.
Menurut pengamat politik dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Sidratahta Mukhtar, mantan Panglima TNI itu tidak akan merapat ke dalam barisan Capres Jokowi-Ma’ruf Amin.
“Alasannya, visi besarnya Gatot, banyak yang tidak sejalan dengan Jokowi. Sebagai Contoh Jokowi ingin bangun kerjasama yang lebih erat dengan China, sedangkan Gatot mencurigai China sebagai ancaman dan proxy Indonesia. Sehingga cara pandang keduanya jelas beda,” kata Sidratahta Mukhtar kepada Harian Terbit. Rabu (30/1/2019).
Sidratahta mengemukakan, keyakinan politik Gatot Nurmantyo sangat kuat dalam upaya membangun militansi masyarakat Indonesia akan potensi ancaman yang datang dari China. "Sedangkan Jokowi anggap revolusi mental dan kemajuan kita dapat dicapai lewat kemitraan bisnis dan strategis dengan China. Itu kan jelas beda," paparnya.
Apalagi, sambung Sidratahta, gerakan Gatot saat diujung masanya sebagai Panglima TNI banyak membuat elite Istana di sekitar Jokowi sangat khawatir. Hal ini membuat dalam hati masyarakat Indonesia, Gatot dianggap jenderal yang penting dimasa krisis sebelum dan pasca 212. Yang dilakukan bisa menjadi sebuah saham politik yang sangat penting. Sehingga Garot menjadi kekuatan elite penentu nasional.
Sebagai militer, ujar Sidratahta, Gatot mempunyai disiplin tinggi dan punya kapasitas dalam kepemimpinan nasional. Tapi Jokowi juga mempunyai talenta untuk merangkul lawan politik.Seperti Yusril Izha Mahendra yang tadinya sangat kritik keras tapi saat ini sudah dalam tim Jokowi. Selain itu ada juga Kapita, TGB.Kadang saat lobi redam lawan politik, jabatan sebagai presiden negara besar dikesampingkan Jokowi.
"Jokowi bisa membangun komunikasi politik dengan lawan-lawan yang mempunyai magnet publik tinggi. Bisa dikatakan Jokowi hebat dalam "proxy" lawan politik, itu sebuah keunggulan tersendiri Jokowi. Istilahnya blusukan ke lawan politik. Bukitnya, Bima Arya, Walikota Bogor juga mendukung Jokowi usai Jokowi lihat pasar-passr di pagi buta di Bogor. Saat berhadapan dengan Jokowi sebuah ujian tersendiri bagi kemampuan strategi Gatot Nurmantyo," tandasnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) M Aminuddin mengatakan, terlalu dini untuk mengomentari Gatot Nurmantyo yang bertemu Jokowi di Istana. Apalagi Gatot juga menyebut hanya rakyat biasa dan pengaruh elektabilitasnya juga belum teruji.
Oleh karena itu, lanjut M Aminuddin, jika Gator bergabung dengan Jokowi maka menunjukkan ketidakmatangannya. "Tetapi belakangan Jokowi makin intensif mengumpulkan para pensiunan Jenderal," ujar Aminudin kepada Harian Terbit, Rabu (30/1/2019).
Bukti Jokowi kumpulan para mantan jendral, sambung Aminudin, yakni diawali dengan pembersihan tentara merah putih yang masih aktif. Digantikan perwira Istana atau partisan yang siap mendukukung penuh untuk mengamankan kebijakan yang sangat Tiongkok sentris.
Sebelumnya Jokowi juga mengumpilkan para Babinsa dengan memerintahkan menjadi corong politik dengan memberi insentif kenaikan gaji.
Namun demikian, Aminudin masih sangsi jika Gatot bakal merapat ke Jokowi. Jika pun benar Gator bakal merapat ke Jokowi maka akan membuatnya rugi. Walaupun jika Gator merapat ke Prabowo juga belum tentu beruntung.
"Wah. Gatot lebih rugi merapat ke Jokowi walaupun ke Prabowo belum tentu untung," paparnya.
Aminudin menilai, sikap Gatot yang kritis pada Tiongkok terbaca Istana. Di Prabowo dan sekelilingnya Gatot memang ada ganjalan persepsi.
Seperti diketahui, Gatot Nurmantyo menghadiri pembukaan rapat pimpinan TNI-Polri yang dipimpin Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta. Saat dikonfirmasi soal pilihannya di Pilpres, Gatot menegaskan belum menentukan dukungan kepada salah satu calon. "Belum, belum, belum," ucap Gatot di Istana Merdeka Jakarta (29/1/2019).
Kendati begitu, Gatot membebaskan pendukungnya untuk menentukan capres pilihan mereka. "Saya tidak menginstruksikan. Saya mengimbau silahkan ke mana saja," katanya.
Gatot enggan berbicara banyak saat dicecar pertanyaan oleh awak media. Namun, dia sempat menjawab terkait fotonya yang dipasang di posko Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi di Solo, Jawa Tengah.
Menurutnya, permasalahan tersebut telah selesai. Hal ini lantaran Gatot telah meminta agar fotonya diturunkan dari baliho tersebut. "Kan sudah selesai kan. Ya sudah," ujarnya.
Pada acara ini, selain Gatot, mantan Panglima TNI, mantan Kapolri juga hadir dalam acara pembukaan rapat pimpinan TNI/Polri. Mereka antara lain, Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Suyanto, Wiranto, Moeldoko, Endartiono Sutarto, dan Tri Soetrisno.
Kemudian, mantan Kapolri yang hadir antara lain Bambang Hendarso Danuri, Timur Pradopo, Badrodin Haiti. Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun turut hadir. Jokowi mengatakan rapat pimpinan TNI-Polri ini memang pertama kalinya diadakan di Istana.
"Bukan apa-apa, tapi memang saya ingin rapim ini sekali-sekali kita lakukan di sini, kan nggak ada salahnya," ucap Jokowi.
Sebanyak 368 perwira tinggi TNI dan Polri yang hadir dalam rapat pimpinan pada tahun 2019 ini. Mereka terdiri 198 perwira tinggi TNI, dan 170 perwira tinggi Polri. [HT]