GELORA.CO - Petahana Joko Widodo (Jokowi) dinilai tampil terlalu agresif dalam debat capres perdana, Kamis (17/1/2019), lalu.
Dalam debat tersebut, Jokowi tercatat menembakkan serangan yang langsung mengarah pada pribadi Capres Prabowo Subianto dengan isu caleg mantan napi korupsi.
Pakar psikologi politik Irfan Aulia Syaiful menilai, dari kacamata psikologi politik, manufer Jokowi dalam debat capres itu sebagai cerminan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta sedang tertekan.
Penyebabnya adalah perkara elektabilitas yang stagnan dan cenderung merosot, serta masih banyaknya pemilih yang belum menentukan pilihan di tiga bulan jelang Pilpres 2019. Hal ini, menurutnya, menjadi sumber tekanan utama bagi Jokowi sebagai petahana.
"Pak Jokowi terlalu cepat menembak, gak sabar. Dan orang yang cepat nembak biasanya karena tertekan. Saya lebih suka yang empiris saja, kalau dari teman-teman survey, memang dia (Jokowi) mungkin dikalahkan dan itu menurut saya cukup mengganggu," kata Irfan di Jakarta, Selasa (22/1/2019).
"Pilpres ini masih ada sekitar 3 bulan lagi dan masih banyak orang yang belum menentukan pilihan, di atas 10%. Di Pilpres Amerika saja angka 1% itu angka yang sangat menentukan siapa yang jadi presiden, apalagi di Indonesia yang lebih cair," tambahnya.
Bila Jokowi tampil agresif dan menyerang, Prabowo justru menghadirkan hal baru. Irfan mengatakan, dalam debat capres perdana, capres nomor urut 02 itu memunculkan sikap aslinya yang penyabar, santun dan humoris. Selama ini, sikap tegas melekat di pundak mantan Komandan Jenderal Kopassus itu.
"Memang Prabowo itu otentik ya, gak bisa diatur tapi itulah dia. Saya agak kaget juga kok dia tampilkan sesuatu yang unik, baru dan tidak ditampilkan sebelumnya, yaitu lebih tenang dan lebih sopan, bahkan terlalu sopan untuk ukuran oposisi," kata Irfan.
Lantas ke mana suara pemilih pemula yang belum menentukan pilihannya di Pilpres 2019 akan berlabuh, Irfan mengatakan, para pemilih pemula akan menentukan pilihannya nanti di menit-menit terakhir.
Sehingga, para 'pelari maraton' yang akan memenangi kompetisi demokrasi lima tahunan.
"Jadi orang-orang ini akan memilih di menit terakhir. Menit terakhir ini yang menang adalah yang berlari maraton, bukan yang sprint, karena mereka akan memilih di tujuh hari terakhir. Di situ Pak Jokowi nembaknya kecepatan. Disinilah stamina penting, endurance penting," Irfan menjelaskan. [ts]