Oleh: Asyari Usman*
Alhamdulillah, Senin malam (14/01/2019) Capres Prabowo Subianto (PS) menguraikan visinya tentang Indonesia. Konten visi itu jujur dan sampaikan dengan jujur pula. Hebatnya, fasilitas media (khususnya televisi) yang menyiarkan lansgung penyampaian visi itu, didapat dengan jujur juga.
Jadi, yang dilakukan Prabowo adalah jujur konten, jujur penyajian, dan jujur pula cara mendapatkan media televisinya. Tidak ada main akal-akalan. Prabowo tidak ‘mengakali’ rakyat di dalam visinya sebagai calon presiden. Beliau tidak ‘mengakali’ penguraiannya di depan ‘live broadcast’ (siaran langsung). Dan tidak pula ‘mengakali’ cara mendapatkan ‘air time’ (waktu tayang) televisi.
Berbedan dengan Jokowi. Capres nomor 01 ini ‘mengakali’ larangan kampanye sistem ‘blocking time’ dengan cara memainkan judul penyampaian visinya menjadi “Visi Presiden”. Bukan visi calon presiden. Inilah akal-akalan yang sangat kasar. Licik. Manipulatif.
Dengan judul “Visi Presiden”, terbebaslah Jokowi dari larangan kampanye yang memblok waktu tayang. Serentak disiarkan oleh SCTV, Indosiar, NET-TV, dan JAK-TV pada pukul 21.00 WIB, 13 Januari 2019. Sehari sesudahnya, penyampaian visi Prabowo berlangsung tanpa akal-akalan. Bersih. Tidak ada ‘abuse of power’ (penyelewengan kekuasaan) seperti yang dilakukan secara terbuka oleh kubu Jokowi.
Tapi, rakyat paham manipulasi Jokowi itu. Rakyat tahu ada ‘abuse of power’. Dan rakyat akan menunjukkan penolakan terhadap cara-cara seperti itu. Pada 17 April nanti rakya akan mengirimkan nota penolakan.
Selain ‘mengakali’ aturan larangan kampanye blocking time, Jokowi juga terbebas dari biaya kampanye. Sebab, bagi keempat stasiun TV yang menyiarkan ‘live’, penyampaian Visi Presiden (Episode Infrastruktur) itu digolongkan sebagai ‘talk show’ biasa. Jadi, Jokowi mengambil keuntungan berupa kampanye tanpa batas waktu tayang, dan tanpa bayar.
Begitulah Jokowi menjalankan kekuasaannya. Dia, dengan bantuan para ‘pemegang kekuasaan’ di dalam timnya, bisa dengan mudah mendapatkan waktu tayang di stasiun TV mana pun juga. Tidak mungkin ada yang berani menolak.
Suasana yang dihadapi lembaga-lembaga siaran itu sama dengan posisi para gubernur dan bupati yang secara terang-terangan mendukung Jokowi. Mereka tidak berani melawan. Karena mereka punya banyak sekali ‘kelemahan’. Kelemahan-kelemahan itu harus mereka tutupi dengan mengikuti semua yang diinstruksikan kepada mereka.
Praktek kekuasaan seperti ini sungguh sangat memprihatinkan. Ini adalah cara represif yang berbeda zaman dan tampilan. Zaman now dengan tampilan merakyat, tetapi sesungguhnya Jokowi mempraktekkan ‘the very essence of repressive power’. Yaitu, mempraktekkan esensi kekuasaan repesif.
Sekali lagi, fakta ini sangat menyedihkan. Sebab, para pemegang kekuasaan hari ini seharusnya menjadi teledan bagi generasi penerus. Kita bertanya kepada Pak Jokowi apakah cara-cara yang melanggar etika dan moralitas demokrasi itu akan diwariskan kepada generasi penerus? Apakah Anda bisa tidur nyenyak setelah melakukan berbagai penyelewengan kekuasaan?
Tentunya tidak ada seorang pun yang rela melihat contoh-contoh manipulasi kekuasaaan itu menjadi warisan generasi penerus. Sebaliknya, kita sepakat agar generasi muda bebas dari politik jorok. Bebas dari penularan cara akal-akalan. Bebas dari kebiasaan manipulatif ketika memegang kekuasaan.
Cara-cara yang tak terhormat ini harus dihentikan. Kita harus menyelamatkan generasi muda dari kelanjutan ‘tontonan toxic’ yang disajikan oleh pemerintahan Jokowi. Cukuplah lima tahun.
Perjuangan untuk menghentikan manipulasi kekuasaan Jokowi, memang berat. Sebab, kita menghadapi para pendukung beliau yang tidak merasa penyelewengan kekuasaan itu terjadi. Sehingga, dengan sendirinya Jokowi pun ikut merasa bahwa dia melakuka manipulasi kekuasaan.
Padahal, sejumlah pengamat asing berpendapat bahwa Jokowi telah menembus batas otoritarianisme. Seperti dikatakan oleh penulis tentang Indonesia yang bermukim di Australia, lulusan Universtas Nasional Australia (ANU). Dr Tom Power mengatakan, “In 2018 we saw mounting evidence of the Jokowi government taking an authoritarian turn that contributes to the accelerated deterioration of Indonesia’s democratic status quo identified by Vedi Hadiz last year.”
Terjemahan bebasnya, “Pada 2018 kita melihat bukti yang makin banyak tentang pemerintah Jokowi berubah menjadi otoriter, yang berperan mempercepat pelemahan status quo demokrasi Indonesia sebagaimana disimpulkan Vedi Hadiz, tahu lalau.”
Ross Tapsell (dosen ANU) menyindir kalangan media utama yang tidak menyiarkan sama sekali Pidato Kebangsaan yang disampaikan oleh Prabowo seperti dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Tapsell heran. Tetapi, kita yang memahami kubu Jokowi, sudah sangat hafal mengapa itu bisa terjadi.
Itulah akal-akalan pemegang kekuasaan. Taktik kotor. Represif model baru. Dengan cara beginilah Jokowi bisa sesuka hati menyampaikan Visi Presiden yang disiarkan serentak oleh, sedikitnya, empat stasiun TV. [swa]
*) Penulis adalah wartawan senior