GELORA.CO - Untuk kesekiankalinya, Australia menolak pembebasan narapidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir. Alasannya, Ba'asyir dianggap sosok yang ikut bertanggung jawab dalam serangan bom Bali pada Oktober 2002. Serangan itu menewaskan 88 warga Australia.
Penolakan Australia bahkan telah disampaikan pada Maret 2018 ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai membahas wacana pembebasan Baa'syir.
"Kami berharap keadilan terhadap terpidana terorisme Baayir diteruskan dan dilakukan sepenuhnya, ia sudah seharusnya tidak diizinkan untuk menghasut orang lain melakukan serangan lainnya di masa depan terhadap warga sipil yang tak bersalah," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Australia pada 3 Maret 2018.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison dalam pernyataan terbarunya mendesak Pemerintah Indonesia untuk menunjukkan rasa hormat kepada Australia. Morrison mengatakan, warganya tewas secara mengerikan pada insiden Bom Bali Oktober 2002.
Menurut Morrison, jika Ba'asyir dibebaskan, maka pria berusia 80 tahun itu berada pada posisi mudah untuk memengaruhi atau menghasut untuk terlibat jihad.
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019). |
"Orang Australia meninggal secara mengerikan pada malam itu, dan saya pikir orang Australia mengharapkan masalah ini ditangani dengan sangat serius," ujar Morrison kepada wartawan di Canberra seperti dilansir SBS News, Senin (21/1).
"Kami (Indonesia-Australia) konsisten menyoal Baasyir. Dia harus menjalankan sistem peradilan di Indonesia sebagai hukumannya," kata Morrison menambahkan.
Korban selamat insiden dalam insiden di Bali juga mengaku sangat kecewa dengan pemerintah Indonesia. Korbam mendesak Australia mengambil langkah serius. "Kami dibantai malam itu. Dan dalang di balik ledakan bom itu keluar, Pemerintah Australia mengambil pendekatan lunak," ujar korban Bom Bali dengan 50 persen luka bakar, Peter Huges.
Setelah pengeboman Bali, Jakarta membentuk pasukan anti-terorisme Pasukan Khusus yang dikenal sebagai Detasemen 88. Australia turut menyediakan dana dan pelatihan untuk pasukan itu yang mencakup penyelidik dan ahli bahan peledak serta unit respons taktis.
Pakar anti-terorisme dari Universitas Deakin, Melbourne Greg Barton mengatakan, pemerintah Australia harus hati-hati dalam memberikan tanggapan menyoal masalah ini. Barton menilai pembebasan Baasyir ada hubungannya dengan Pilpres April mendatang. "Jokowi sedang membereskan masalah sebelum pemilihan," kata dia.
Abu Bakar Baasyir divonis bersalah pada 2011 dan dikenakan hukuman penjara selama 15 tahun terkait kasus tindak pidana terorisme. Ia dibebaskan karena dianggap telah menjalankan dua pertiga dari masa tahanan. Ba'asyir juga dinilai telah memasuki usia tua.
10 Daily, situs milik 10 Network memasang tajuk "Jika ada mencari keadilan, jangan mencarinya di Indonesia". Tajuk itu untuk menanggapi pembebasan Ba'asyir.
Dalam opininya yang dimuat hari Senin (21/01), editor Hugh Riminton mengatakan Ba'asyir membenci orang-orang Australia. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya jika setelah bebas, Ba'asyir malah akan kembali mendapat panggung dan meneruskan penyebaran ideologi Islam-nya.
Harian 'The Australian', milik pengusaha media Rupert Murdoch, mengatakan keputusan ini sebagai langkah yang buruk bagi Indonesia dan bagi dunia dalam memerangi terorisme.
"Membuat senang golongan Islam ekstremis jelang pemilihan presiden 17 April akan merusak catatan Jokowi sebagai pemimpin moderat," tulis harian tersebut dengan judul "Ba'asyir seharusnya tetap berada di balik jeruji".
Tapi pakar politik Islam dari Deakin University di Melbourne mengatakan Ba'asyir bukanlah lagi sosok dengan ancaman signifikan saat ini.
Pertimbangan kemanusiaan
Advokat Yusril Ihza Mahendra menyampaikan narapidana teroris Abu Bakar Baasyir telah berstatus bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Yusril mengaku pembebasan Ustaz Abu Bakar Baasyir atas instruksi Presiden Joko Widodo dengan pertimbangan kemanusiaan, kesehatan dan juga usia yang sudah uzur.
Selain itu, Yusril menjelaskan, Ustaz Abu Bakar Baayir juga telah menjalani 2/3 masa hukumannya dari putusan 15 tahun penjara pada 2011 terkait kasus terorisme di Indonesia.
"Jadi dibebaskannya ini karena alasan kemanusiaan juga. Selain beliau dari sisi usia sudah cukup tua, beliau kan juga sedang sakit. Presiden akhirnya setuju untuk memberikan bebas murni kepada beliau," jelas Yusril di LP Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jumat (18/1).
Sebelumnya, Yusril juga menyatakan sudah berkoordinasi dengan sejumlah lembaga/kementerian terkait agar membaskan murni Abu Bakar Baasyir. Hanya saja, proses administrasi pembebasan murni Abu Bakar Baasyir akan dilakukan pada Senin (21/1).
"Sudah pasti keluar. Artinya kan sudah lebih dari 2/3 sudah harus dibebaskan dan tidak dibebani syarat-syarat yang yang memberatkan beliau itu saja," ungkapnya.
Sebenarnya, kata Yusril, Ustaz Abu Bakar Baasyir seharusnya sudah bebas pada bulan Desember tahun lalu. Namun ketika itu masih belum ada kesepakatan, seperti syarat kepada Pancasila tapi Ustaz Abu Bakar Baasyir setia kepada Islam. Kemudian dia menjelaskan antara Pancasila dengan Islam tidak ada pertentangan. Sehingga dikatakan, taat kepada Islam sama dengan taat kepada Pancasila.
Namun dua hari berselang, Menko Polhukam Wiranto menggelar keterangan pers. Ia mengatakan pembebasan Abu Bakar Ba'asyir masih akan dikaji, terutama terkait dengan aspek ideologi.
"Atas dasar pertimbangan kemanusiaan maka Presiden sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Namun, tentunya masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, saat konferensi pers (konpers) mendadak yang dilakukan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (21/1).
Aspek-aspek yang perlu diperimbangkan lebih lanjut tersebut di antaranya mengenai aspek ideologi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hukum, dan lain sebagainya. Hal itu, kata Wiranto, diputuskan karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan pejabat terkait untuk melakulan kajian secara lebih mendalam.
"Presiden memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian secara lebih mendalam dan komprehensif guna merespon permintaan tersebut," katanya.[rol]