GELORA.CO - Presiden Joko Widodo terlalu menyederhanakan persoalan terkait saran penanaman jengkol dan petai sebagai alternatif pengganti kelapa sawit yang sedang menurun drastis.
"Itu sangat menyederhanakan persoalan. Karena menurut saya persoalan itu kalau kelapa sawit kan naik turun angkanya di pasar internasional," kata pengamat Ekonomi Farouk Abdullah Alwyni saat dihubungi redaksi, Kamis (20/12).
Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) ini menuturkan permasalah saat ini adalah dimana Indonesia masih ekspor di sektor komoditas, sehingga seharusnya ketika fluktuasi kelapa sawit terjadi pemerintah alangkah baiknya menguatkan sektor manufaktur.
"Harusnya dengan fluktuasinya kelapa sawit itu kita lebih menguatkan sektor manufaktur. Jadi kadang-kadang rupiah jatuh, percuma kita enggak bisa dapat manfaat karena mayoritas dari ekspor kita itu sektor komoditas, seperti salah satunya kelapa sawit," ungkap Farouk.
Pendiri Pusat Kajian Islam Bidang Keuangan, Ekonomi dan Pembangunan CISFED ini menilai pemerintah harus bercermin terhadap China, dimana ekspornya kuat di sektor manufaktur.
"Padahal sebetulnya awalnya bukan dia (China), bukan industrinya dia, dia cuma buka pintu kasih tempat untuk memproduksi barang di negaranya. Tetapi ekspor oriented jadinya akhirnya devisanya besar sekali," paparnya.
Dia menegaskan kedepan yang harus diperhatikan adalah hal penguatan sektor manufaktur.
Presiden Joko Widodo sebelumnya menyarankan masyarakat ditengah harga jugal kelapa sawit yang menurun drastis untuk beralih menanam komuditi lain.
"Tanam lah kopi, kulit manis, jengkol dan petai, dan lebih bagus manggis karena permintaan sangat tinggi oleh negara tetangga, seperti Thailand Jepang, Singapura, Taiwan, Hong Kong dan lainnya, sangat besar permintaan buah manggis," ungkap Jokowi saat menyerahkan sertifikat 91 ribu hektare lahan tanah kepada para petani di Jambi pada 16 Desember lalu. [rmol]