GELORA.CO - APA pesan penting yang sampai kepada Presiden Jokowi pasca Reuni 212 yang sangat sukses? Pertama, Jokowi gagal mengkooptasi sekaligus memecah soliditas umat. Kedua, kekuasaan tidak boleh digunakan untuk menakut-nakuti rakyat. Ketiga, Jokowi dan pemerintah tengah menghadapi pembangkangan dari masyarakat (civil disodibience).
Kubu pendukung pemerintah pasti sangat kaget dengan fakta bahwa reuni 212 kali ini dihadiri oleh peserta jumlah luar biasa besar. Ada yang menyebut lebih besar dari Aksi 212 yang dulu diklaim mencapai 7 juta peserta.
Lepas berapapun jumlahnya, satu hal yang tidak bisa dibantah, jumlahnya benar-benar bikin kaget. Monas dan kawasan sekitarnya benar-benar berubah menjadi lautan putih.
Bagaimana tidak mengagetkan? Jokowi secara sistematis mencoba mematahkan perlawanan umat dengan strategi rangkul dan pukul. Mereka yang tidak bisa dirangkul akan menghadapi pukulan keras yang sering disebut sebagai kriminalisasi.
Jokowi berhasil merangkul Kyai Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Ma’ruf adalah pentolan GNPF MUI. Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf mengeluarkan fatwa Ahok telah menista agama. Fatwa itulah yang mendorong serangkaian Aksi Bela Islam (ABI) dan puncaknya adalah Aksi 212.
Ma’ruf dipilih karena latar belakangnya sebagai pengurus puncak Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Jokowi berharap mendapat dukungan dari warga nadliyin.
Melihat suasana pada reuni 212 terlihat jelas mayoritas warga yang hadir berlatar belakang nahdliyin. Warga berbondong-bondong memadati Monas sambil melantunkan salawat nabi yang menjadi salah satu tradisi penting kaum nahdliyin. Sejumlah anak cucu pendiri NU yang dikenal sebagai kubu kultural diketahui juga hadir dalam reuni tersebut.
Jokowi juga merangkul sejumlah ulama berpengaruh yang sebelumnya menjadi pendukung Aksi 212 seperti TGB Zainul Majdi, dan Yusuf Mansur. Terakhir Jokowi juga berhasil merangkul Yusril Ihza Mahendra. Semua tokoh tidak berhasil menggoyahkan konsolidasi umat. Yang terjadi mereka malah ditinggalkan umat.
Figur seperti TGB, Yusuf Mansur, dan Yusril menjadi bulan-bulanan caci maki, dan bullyan di media sosial. Secara politik mereka sudah tidak ada gunanya bagi Jokowi. Baik sebagai endorser, apalagi menjadi penarik suara (vote getter). Yusril bahkan terancam dikudeta dari posisi Ketua Umum PBB. Mereka menjadi kartu mati.
Jokowi juga tidak berhasil melumpuhkan perlawanan para ulama. Rezim Jokowi berhasil membuat Habib Rizieq tokoh sentral gerakan 212 hijrah ke Arab Saudi, karena berbagai kriminalisasi. Posisi Habib Rizieq bahkan semakin penting. Posisinya kira-kira mulai mirip dengan pemimpin spiritual Iran Ayatulloh Khomenei ketika mengasingkan diri ke Paris.
Saat ini di GNPF MUI yang telah berubah menjadi GNPF Ulama muncul sejumlah figur idola baru di kalangan umat. Figur-figur seperti Habib Bahar Bin Smith yang memilih jalan keras, atau figur yang kocak namun tak kalah kritis dan nylekit ketika menyampaikan kritik model Ustadz Haikal Hasan Baraas.
Sejumlah akademisi dan pengamat asing menyebut Jokowi anti demokrasi dan mulai otoriter. Dia mencoba menekan para lawan politik dan pengritiknya dengan cara menakut-nakuti melalui kriminalisasi. Korbannya selain para ulama, juga para aktivis dan pegiat medsos yang kritis terhadap dirinya. Namun langkah ini tidak menyurutkan perlawanan.
Munculnya sejumlah figur kritis pasca hijrahnya Habib Rizieq menunjukkan scare management, manajemen menakut-nakuti yang dterapkan Jokowi tidak berhasil. Kesadaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, membuat banyak aktivis terus menggelorakan perlawanan.
Satu poin lain yang sampai kepada Jokowi dari Reuni 212 adalah munculnya pembangkangan masyarakat. Para peserta reuni tidak mau lagi mendengarkan himbauan para pejabat, maupun ulama yang meminta mereka untuk tidak hadir.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo misalnya telah meminta warganya untuk tidak pergi ke Jakarta. Namun ribuan warga Jatim berbondong-bondong hadir di Monas.
Nasib yang dialami oleh Ketua MUI Jabar Rahmat Syafei meminta warga Jabar tidak hadir pada reuni. Faktanya warga Jabar tercatat sebagai peserta yang paling banyak hadir di Monas, setelah warga Jakarta.
Begitu pula berbagai langkah polisi yang mencoba menghambat warga datang, mulai dari sekedar imbauan, sampai pelarangan pengusaha bus menyewakan armadanya, tak diindahan warga.
Yang paling menyedihkan adalah kegagalan Panglima TNI Hadi Tjahjanto menakut-nakuti warga dengan mengerahkan pasukan besar-besaran ke Monas, juga tidak berhasil. Yang terjadi langkah Hadi malah banyak dipertanyakan karena dikhawatirkan menyeret kembali TNI ke ranah politik praktis, dan membuat prajurit berhadapan dengan warganya sendiri.
Untungnya para peserta reuni tidak terpancing. Aparat TNI-Polri juga tidak melangkah terlalu jauh dengan melakukan provokasi yang tidak perlu.
Dari semua pesan, ada satu lagi pesan yang jauh lebih penting yang harus ditangkap Jokowi, bahwa dia sudah mulai kehilangan basis legitimasinya, setidaknya di kalangan jutaan kaum muslim, dan kelompok-kelompok agama lain yang bersimpati kepada gerakan 212. [***]
Djadjang Nurdjaman
Pemerhati Politik