Oleh : Nazar EL Mahfudzi
Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional UMY
Terus menerus membandingkan utang pemerintah dengan Produk Domestik Bruto (PDB) seperti halnya negara-negara maju dianggap sebagai pandangan yang menyesatkan dan membahayakan masa depan negara.
Pemerintah diminta jujur dan terbuka dengan kenyataan bahwa Indonesia dalam tekanan dan semestinya mulai melakukan perbaikan mendasar dengan berlandas kekuatan sendiri, bukan utang.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng mengungkapkan membayar utang itu memakai cash bukan PDB.
Menyorongkan imajinasi bahwa PDB adalah pendapatan pemerintah sangat membahayakan karena PDB Indonesia 53 persen disumbang oleh konsumsi rumah tangga (lebih dominan produk Impor), 20-an persen aktivitas pemerintahan dan sisanya oleh investasi dimana 50 persen investasi disumbang oleh asing.
Artinya PDB kalau kita lihat strukturnya justru hanya mencerminkan pendapatan asing, bukan pendapatan pemerintah. Ini sama sekali tidak mencerminkan kemampuan fiscal pemerintah.
Pemerintah untuk tidak terus membandingkan perbandingan utang dengan PDB seperti halnya negara-negara maju. Sebab negara maju, Amerika misalnya, saat krisis 2008 bisa mencetak uang sendiri tanpa mempengaruhi inflasi dalam negeri.
Amerika memang memiliki utang 300 persen dibanding PDB tapi tidak ada satu investor pun di dunia yang tidak percaya pada pemerintahan Amerika. Sebab Amerika menguasai IMF dan Bank Dunia, dollar juga diperdagangkan di seluruh dunia. Piutang Amerika di seluruh dunia juga sangat banyak.
Jepang sama saja saham di ADB besar, piutang besar. Kita ini hanya negara debitur, bagaimana mau membandingkan diri dengan mereka.
Utang bisa berpeluang sebagi tindak kejahatan koorporasi dan korupsi kejahatan negara yang didominasi oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang secara terus menerus mencetak utang atas kegagalan pola kebijakan yang merugikan Negara.
Melihat sisi utang dan kegagalan BUMN dalam mengelola aset-aset dan sumber daya negara mempunyai korelasi menaikan nilai depresiasi rupiah yang semakin tinggi sehingga nilai export Indonesia gagal untuk dilakukan.[sn]