GELORA.CO - Awalnya aku hanya ingin tahu dan ingin melihat saja. Tentang reuni 212 yang katanya di hadiri jutaan manusia. Pukul 06.00 WIB aku berangkat dari Depok menuju Monasitik tempat berkumpulnya alumni 212.
Jam 7 kurang aku sudah sampai. Aku terkejut dan takjub, karena memasuki bunderan HI manusia sudah berjubel. Mobilku pun berjalan merayap di antara jamaah yang rata-rata berbaju dan berpeci putih.
Mereka begitu ramah mempersilakan mobilku lewat. Namun aku tak bisa meneruskan, karena sudah tidak bisa masuk lebih jauh lagi dan jalan sudah dipadati manusia.
Seorang jamaah dengan sopan bertanya padaku, "Mau kemana Bu?",
"Mau cari parkir pak," jawabku tersenyum.
"Ibu mutar ke kanan terus lurus kurang lebih 100 m dari sini ada tempat parkir di halaman gedung itu, masih bisa parkir, " katanya santun sekali.
Setelah berjalan terseok akhirnya sampai juga aku di gedung yang ditunjukkan bapak tadi.
Selesai memarkir aku dan keluargaku keluar dari halaman gedung. Aku terkejut bahkan terperangah. Karena jalan sudah penuh sesak dg lautan manusia.
Mereka kompak tanpa di komando membaca sholawat dan mengibarkan ratusan bendera tauhid berwarna warni.
Aku tahu bendera tauhid dari dunia medsos. Aku dan keluargaku pesimistis, apakah mereka menerima kami untuk ikut nimbrung. Ataukah sebaliknya mereka akan mengusir kami.
Dan aku pun berpikir bagaimana bila terjadi rusuh?
Dalam situasi yang pesimistis dan kebimbangan. Tiba-tiba beberapa jamaah menghampiri kami dan memberikan topi yang bertulisan tauhid. Dan anggota keluargaku pun diberikan beberapa slayer. Kami di persilahkan ikut bergabung. Rasa euforia menghinggapi keluarga.
Kami rela berdesakan dengan orang lain yang tak saling mengenal tapi jiwanya ada rasa kebersamaan. Akupun tak dapat menahan tangis haru begitu juga anggota keluargaku. Jutaan rasa yang menghinggapi kami membuat aku terisak. Beberapa jamaah memberikan tisue kepadaku. Aku mengusap air mataku, belum pernah perasaan ini berkecamuk sebegitu dahsyatnya.
Rasa takjub dan bangga belum pernah aku lihat manusia sebanyak ini begitu tertib. Puji Tuhan, ini sungguh luar biasa. Apalagi saat mendengar lantunan sholawat yang begitu kompak.
Tak henti-hentinya aku mengusap air mata yang menggenangi mataku.
Setelah berjalan sekian puluh meter. Aku bertemu dengan rekan-rekan yang aku tahu mereka adalah non muslim. Rupanya mereka merasakan hal yang sama denganku. Dan aku semakin lebih takjub, karena banyak yang non muslim pun berdatangan. Ikut membaur dengan para jutaan jamaah.
Mereka pun tak membedakan kami, kami dapat makan dan minuman seperti jamaah yang lain. Mereka memandang kami sebagai saudara. Yang lebih mengharu birukan seorang nenek tua memelukku sambil menangis memberikan sebungkus nasi uduk.
Tuhanku...rasanya lutut ini lemas tak berdaya. Air mata ini semakin deras membanjiriku. Begitupun yang menyaksikan peristiwa ini. Mereka seakan terbawa arus yang ku alami. Aku yang tadinya sempat menilai negatif thinking tentang ini semua.
Jadi mendapatkan suatu nilai moral yang luar biasa. Aku dan keluarga besarku yang biasa dengar Pasteur khotbah di gereja, atau dengar Bhikkhu di vihara. Tak pernah sampai seharu ini.
Puji Tuhan. Di sinilah, di 212 lah aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Bahwa merekalah orang-orang yang mempunyai hati terpilih.
Yang mempunyai pesan moral yang tiada ternilai. Untuk menyikapi rasa persaudaraan sesama anak bangsa.
Siem Mei Hwa.(Susi Meliana Waty) [bdw]