GELORA.CO - Bencana alam yang berada di Indonesia jauh sebelum tsunami Selat Sunda (22/12/2018) lalu, sudah diteliti oleh NASA dan badan antariksa lainnya. NASA pastikan Gelombang tsunami yang ada di Indonesia tidak tekanan gelombang vertikal saja akan tetapi horisontal.
Bahkan dari penelitian NASA ini, menghasilkan teori yang menantang bahwa tsunami hanya memperoleh energi dorongan dari sebagian besar dari pergerakan vertikal dasar laut.
Namun pada tahun 2007, Tony Song, seorang ahli kelautan di Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California, mengamini teori tersebut setelah menganalisis gempa dan Tsunami Aceh 2004 yang kuat di Samudera Hindia.
Dari hasil penelitian itu, data seismograf dan GPS menunjukkan bahwa pengangkatan gelombang dasar laut secara vertikal akan menghasilkan energi yang cukup untuk menciptakan tsunami yang tinggi.
Tetapi formulasi Song dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa energi dari pergerakan horisontal dasar laut juga diperhitungkan,karena menberi dorongan gelombang yang cepat dan kuat.
Hasil itu cocok dengan data tsunami yang dikumpulkan dari trio satelit - NASA / Pusat Nasional d'Etudes Spatiales (CNES) Jason, Geosat Follow-on Angkatan Laut AS dan Satelit Lingkungan Badan Antariksa Eropa.
Penelitian lebih lanjut oleh Song tentang gempa bumi Sumatra 2004, menggunakan data satelit dari misi NASA / Jerman Aerospace Center Gravity Recovery dan Climate Experiment (GRACE), juga mendukung klaimnya bahwa jumlah energi yang dihasilkan oleh pengangkatan vertikal dasar laut saja adalah tidak cukup untuk tsunami sebesar itu.
"Dengan riset saya di Indonesia, saya memiliki semua bukti yang bertentangan dengan teori konvensional, tetapi saya membutuhkan lebih banyak bukti," kata Song seperti dilansir situs resmi NASA.
Pencariannya untuk bukti lebih banyak bertumpu pada fisika - yaitu, fakta bahwa gerakan dasar laut horisontal menciptakan energi kinetik, yang sebanding dengan kedalaman laut dan kecepatan pergerakan dasar laut.
Setelah mengevaluasi secara kritis percobaan tangki gelombang tahun 1980-an, Song menemukan bahwa tangki yang digunakan tidak secara akurat mewakili salah satu dari kedua variabel ini. Mereka terlalu dangkal untuk mereproduksi rasio aktual antara kedalaman laut dan gerakan dasar laut yang ada dalam tsunami, dan dinding dalam tangki yang mensimulasikan gerakan dasar laut bergerak terlalu lambat untuk mereplikasi kecepatan aktual di mana lempeng tektonik bergerak selama gempa bumi. .
"Saya mulai mempertimbangkan bahwa kedua representasi keliru tersebut bertanggung jawab atas kesimpulan yang telah lama diterima tetapi menyesatkan bahwa gerakan horizontal hanya menghasilkan sedikit energi kinetik," kata Song.
Bahkan sebuah percobaan baru menggambarkan bahwa perpindahan dasar laut horisontal menyumbang lebih dari setengah energi yang dihasilkan tsunami 2004 dan 2011.
"Dari penelitian ini, kami telah menunjukkan bahwa kita perlu melihat tidak hanya gerakan vertikal tetapi juga dasar laut untuk mendapatkan total energi yang ditransfer ke laut dan memprediksi tsunami," kata Solomon Yim, seorang profesor sipil.
Temuan ini semakin memvalidasi pendekatan yang dikembangkan oleh Song dan rekan-rekannya yang menggunakan teknologi GPS untuk mendeteksi ukuran dan kekuatan tsunami untuk peringatan dini. [sindo]