GELORA.CO - Semua mata akan tercengang, bagaimana melihat antusiasme umat Islam atas persatuan, kesatuan dan persaudaraan tanpa mengenal batas. Hanya iman dan Islam yang mendorong mereka bersatu. Solidaritas terbentuk secara alami, dan 212 adalah simbol persatuannya.
Suara takbir dan tahmid, menghiasi langit Jakarta, menyentuh hati dan perasaan umat manusia. Dzikir dilantunkan secara bersama, doa dipanjatkan secara berjamaah, menggetarkan hati yang lesu, sekaligus memperkuat keimanan. Inilah yang disebut menghadap Allah dalam kebersamaan dan persaudaraan sejati.
Tanpa dorongan uang dan kekuasaan, tanpa panggilan mobilisasi yang memakan biaya yang banyak, tanpa janji politik dari seorang calon. Kalau calon presiden, atau partai politik mampu mengumpulkan orang sebanyak itu, maka pasti yang habis adalah uang dalam jumlah yang besar.
Saya yakin tidak mampu seorang calon presiden atau salah satu partai politik, maupun ormas tertentu mengumpulkan manusia sebanyak itu, meskipun dengan uang dalam jumlah yang besar.
Maka panggilan 212 adalah panggilan dalam persaudaraan iman yang sejati, dalam persatuan akrab dengan ulama, untuk menghadap Allah secara berjamaah, berdoa untuk agama dan negara. Patutnya, semua orang bersyukur ada jutaan orang yang bersedia mengorbankan harta dan keleluasaannya demi agama dan Negara.
Namun begitulah, para komentator politik 'murahan' datang dengan tuduhan, dengan menuduh ummat itu sebagai massa bayaran. Umat Islam dituduh dengan ukuran 50 -100 ribu rupiah untuk merusak citra Islam. Suatu tuduhan keji keluar dari mulut politisi yang sedang mabuk kekuasaan dan gila jabatan.
Padahal umat yang datang ke Monas dalam rangka reuni 212, membawa serta bekal mereka, posko-posko pembagian makanan bersebaran diberbagai sudut, yang mereka bawa sendiri serta membagikan pula kepada teman di sebelahnya, meskipu mereka baru pertama bertemu.
Perempuan dan anak-anak dimuliakan, dijaga kehormatannya dalam lautan manusia yang tidak terhitung pasti jumlahnya. Namun pembenci tetaplah akan datang dengan tuduhan meskipun pengorbanan umat untuk bersatu begitu sangat luar biasa.
Umat Islam mereka tuduh, ulama mereka curigai, tokoh umat mereka fitnah dan lain sebagainya. Sementara lawan politik, mereka hinakan. Kalau politisi seperti ini diberikan ruang untuk menjadi bagian penentu kebijakan, maka rakyat yang akan menjadi korban. Ulama akan difitnah dan arena politik akan menjadi arena curiga-mencurigai, jadilah politik tanpa akhlak yang baik.
Inilah kenapa umat bertekad untuk bersatu, menepis semua perbedaan diantara mereka, dengan meminta nasehat ulama. Ulama memberikan nasehat, mereka harus menjadi bagian dari perubahan sosial yang lebih besar, agar persoalan umat tidak jatuh ke-tangan politisi 'murahan'.
Tetapi keinginan umat untuk Perubahan sosial dan politik ini, ditakuti oleh politisi yang tidak senang dengan persatun Islam dan kebangkitan Islam. Mereka ingin Islam menjadi kuli, umat Islam mereka inginkan untuk menjadi budak politik, agamanya dibatasi, syariatnya 'dilabeli'.
Secara 'kasar' mereka seperti Snouck Hungronje seorang propaganda politik Belanda abad 20. Snouck memberikan ruang pada Islam hanya untuk hablum min Allah, sementara hubungan sosial dibatasi.
Mengutip M. Natsir (mantan Perdana Menteri RI) "Islam ibadah mereka beri ruang, Islam di bidang ekonomi mereka awasi, Islam dibidang politik mereka curigai".
Jadilah Islam hanya sebatas agama saja, yaitu sebatas 'Din' yang otoritasnya hanya mengatur cara hamba beribadah kepada Tuhannya, tetapi tidak diberikan tempat untuk Islam sebagai syariat yang hidup dan mengatur kehidupan umat Islam (way of life).
Untuk menghilangkan pandangan yang sempit tentang Islam, ummat Islam Indonesia bertekad dengan semangat yang menyala, kemauan yang kuat, hadir untuk memberikan tenaga dan harta mereka demi persatuan itu.
Hingga dari berbagai suku, berbagai daerah, berbagai mazhab dan berbagai organisasi Islam datang dengan membawa misi dan semangat pribadi mereka demi agama dan negara.
Mereka datang dalam satu panggilan nurani, bukan panggilan materi, mereka datang untuk agama dan negara, bukan untuk mencari dana apalagi cari makan. Dan Inilah sejatinya umat Islam Indonesia, mereka memiliki banyak kekayaan, mereka pantang menerima bayaran dengan menjual agama. Dan hal ini juga yang merupakan kekayaan Islam yang tidak dimiliki oleh keyakinan yang lain.
Jadi tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh beberapa orang yang tidak senang dengan persatuan umat, hanyalah untuk menambah kuat persatuan dan solidaritas Islam. Dengan pernyataan yang mereka keluarkan, menyadarkan umat Islam bahwa para pembenci Islam itu akan muncul ketika umat merayakan persatuan mereka ingin pecah belah.
Apabila telah sampai pada waktunya nanti, umat Islam akan bertekad dengan pilihan politiknya demi agama dan negaranya, dengan serta merta menjadikan komentar politisi yang memusuhi persatuan umat itu sebagai pertimbangan, hingga pilihan politik umat Islam akan jatuh pada orang yang mereka percaya dapat memperjuangkan aspirasi Islam.
Sebagai penutup, umat telah mencari jalan persatuanya dan mereka bersatu dengan simbol 212, ulama menjadi benteng persatuan umat dan jalan perjuangan Islam adalah jalan politik amar ma'ruf nahi munkar, untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan Makmur "baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur".
Wallahua'lam bis shawab
Ahmad Yani
Advokat dan Caleg DPR RI Dapil 1 Jakarta Timur
[rmol]