By Asyari Usman
Kata Adian Napitupulu (politisi PDIP), dia sebenarnya malas menulis soal luka lama tentang Prabowo Subianto (PS). Intinya, dia menjelaskan bahwa Prabowo akan mengembalikan Indonesia ke ere Orde Baru (Orba). Dia mengemukan berbagai alasan yang sudah berkali-kali didaur ulang. Dan berkali-kali pula ditolak oleh publik.
Saya juga sebetulnya malas membuat tanggapan atas tulisan Adian (10/12/2018) itu karena dua hal. Pertama, tanggapan akan balik lagi ke persoalan yang fundamental. Yaitu, cara dia (Adian) memahami situasi politik Indonesia saat ini. Kedua, bagi mayoritas rakyat, insya-Allah, tulisan Adian yang bertujuan untuk menjelekkan Prabowo tidak akan ada pengaruhnya. Sebab, rakyat sudah final bahwa hanya Prabowo yang memiliki kemampuan untuk menghalau ancaman yang dihadapi bangsa dan negara. Ancaman terhadap anak-cucu akibat kekuasaan Jokowi hari ini.
Walaupun malas, saya tetap menuliskan tanggapan ini karena Adian tidak menggunakan nalarnya dalam menyimpulkan bahwa Prabowo berarti Orde Baru. Dan kedua, karena Adian berpikir sesat dan menyesatkan.
Seperti saya katakan tadi, seberapa banyak pun tulisan Adian yang berusaha menggambarkan reinkarnasi Orba melalui Prabowo, tidak akan mempan. Teknik “scaremongering” (menakut-nakuti) macam apa pun yang dia gunakan, tidak akan manjur.
Sebab, sebagian besar rakyat sangat yakin bahwa yang berbahaya bagi bangsa ini adalah pemerintahan Jokowi. Bukan Prabowo.
Kalau ada yang bertanya apa indikator yang membuktikan keyakinan rakyat bahwa pemerintahan Jokowi berbahaya, jawabannya sederhana saja. Bahwa kesadaran rakyat tentang bahaya atau ancaman itu tidak terbentuk melalui propaganda Prabowo atau mesin politiknya. Kesimpulan rakyat itu muncul dari pengamatan mereka sendiri. Observasi mereka dari hari ke hari. Mereka bisa melihat ancaman itu dengan kasat mata.
Di bidang apa saja ancaman itu? Di semua lini, segala sisi. Ekonomi, politik, dan keutuhan teritorial. Juga dari sudut kedaulatan. Semua aspek kedaulatan: kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, kedaulatan sosial-budaya, kedaulatan Pancasila dan UUD 1945. Semua sendi kehudupan terancam akibat kecerobohan pemerintah.
Masyarakat melihat sendiri banyak warga RRC yang bekerja di Indonesia, khususnya Morowali, Sulawesi Tengah. Di Bali, gubernurnya marah-marah karena semakin banyak warga RRC sekarang memiliki toko-toko yang khusus melayani puluhan ribu turis asal negara itu. Para pekerja di toko-toko tsb “harus” orang RRC. Entah kenapa.
Masalah jumlah tenaga kerja RRC yang semakin banyak itu memunculkan kekhawatiran soal pengawasan terhadap mereka. Pihak imigrasi mengaku kesulitan untuk memantau mereka karena aturan bebas visa yang diberlakukan oleh pemerintah. Ini satu hal.
Kemudian, ada masalah hutang Indonesia kepada RRC yang sangat besar jumlahnya. Mau tak mau, hutang itu membuat wibawa Indonesia menjadi rendah. Sekarang, diplomat Indonesia tak berani mengkritik kekejaman Beijing terhadap warga muslim Uigur di Provinsi Xinjiang. Pasti ini gara-gara hutang budi kepada RRC.
Jadi, perlahan-lahan rakyat dihadapkan pada berbagai ancaman. Ancaman terhadap keamanan nasional, terhadap kedaulatan, ancaman teradap netralitas politik luar negeri, dan ancaman terhadap misi perjuangan untuk membantu bangsa-bangsa yang tertindas.
Inilah yang sedang terjadi. Rakyat merasakan itu. Bukan Prabowo yang menyusunkan teori-teori tentang ancaman itu dan kemudian didoktrinkan kepada rakyat. Memangnya rakyat sekarang ini bisa dengan mudah didoktrin-doktrin? Tidak mungkinlah.
Prabowo saja dikhianati oleh Jokowi sendiri, dan juga Ahok, tidak berbuat apa-apa, kok. Dia bantu kedua orang ini sampai menjadi “orang besar”, kemudian mereka menusuk dari belakang, dibiarkan saja oleh Pak PS. Dari mana akal sehat Adian yang mengatakan Prabowo akan membawa Indonesia kembali ke Orde Baru?
Siapa di zaman ini yang mau diajak Prabowo untuk berkonspirasi menghidupkan kembali rezim Orba? Umat Islam, NU, Muhammadiyah? Umat Islam saja mati-matian melawan kekuasaan otoriter dan lama menjadi korban kekuasaan otoriter itu. Terus, siapa lagi yang mau diajak Prabowo?
Katakanlah ada yang mau diajak untuk mendirikan lagi rezim Orde Baru. Lantas, apakah keesokan harinya bisa langsung terbentuk kekuasaan otoriter? Langsung ada “Jenderal Maraden Panggabean”, langsung ada “Pangkopkamtib Laksamana Soedomo”, langsung ada “Mensesneg Soedharmono”? Langsung ada “Jenderal Benny Moerdani”, langsung ada “Menpen Harmoko” dan para menteri ABS lainnya?
Pak Harto saja yang secara alamiah dan memerlukan waktu 20 tahun untuk menjadi otoriter, akhirnya terdesak juga oleh rakyat. Padahal, rakyat tidak punya senjata medsos seperti sekarang ini. Tidak bisa menghimpun kekuatan, tidak bisa menyebarkan informasi dengan cepat. Tidak ada emak-emak yang membuat kelompok perlawanan medsos. Itu saja Pak Harto menyerah juga.
Dan, harap diingat pula, para jenderal yang pernah menjadi orang dekat Pak Harto pun ikut melawan keotoriteran beliau lewat kelompok Petisi 50. Ada Letjen Ali Sadikin, Jenderal AH Nasution, Jenderal Pol Hoegeng Imam Santoso, Letjen A.Y. Mokoginta, Letjen M. Jasin, Laksda TNI Mohammad Nazir, dll.
Nah, hari ini Prabowo malah didukung oleh 300 jenderal TNI untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman salah kelola yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Apakah ke-300 jenderal itu bisa didikte oleh Prabowo untuk ikut membentuk rezim Orde Baru begitu terpilih menjadi presiden tahun depan? Memangnya mereka jenderal karbitan seperti sejumlah jenderal yang ada sekarang ini?
Bung Adian, jadikanlah akal sehat sebagai dasar untuk berteori. Jangan mentang-mentang Pak PS pernah menjadi bagian dari Pak Harto kemudian serta-merta Anda pastikan beliau akan mengembalikan cara-cara Orde Baru.
Kalau pun mau dikatakan ada peranan dan kekuatan politik Prabowo, itu hanya sebatas menghimpun kegelisahan rakyat saja. Sebatas menajamkan kesimpulan rakyat tentang ancaman terhadap masa depan bangsa, generasi penerus Pancasila. Apa artinya? Artinya adalah bahwa sekarang ini rakyatlah yang memiliki kemampuan membaca sepak-terjang pemerintahan Jokowi. Merekalah yang mengatakan Jokowi bergerak ke arah yang berbahaya.
Bukan karena diajak-ajak oleh Prabowo untuk kembali menegakkan sistem Orde Baru. Dan bukan juga karena buku Paradoks Indonesia atau buku kayra Prabowo lainnya. Apa iya 130 juta pemilih yang bakal memberikan suara kepada Prabowo sudah semuanya membaca buku-buku beliau? Tidaklah!
Adian lupa bahwa hari ini kita sudah bukan lagi 1970-an. Ini 2018. Era smartphone. Era fiber optic. Internet cepat. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Masa Adian berpikir kita ini masih bisa digiring-giring oleh Prabowo supaya menjadi manusia Orde Baru di bawah pemerintahan otoriter? Come on, Bung!
Ini yang dibaikan oleh Adian Napitupulu. Dan ini juga yang, barangkali, tak terbaca oleh orang-orang pandai dan bijak di lingkaran Jokowi. Mereka pikir rakyat ini masih bisa dikelabui. Masih bisa dibawa-bawa begitu saja ke kubu Prabowo tanpa alasan yang telah mereka yakini.
Kalau yang dimaksudkan Adian “Prabowo akan menghidupkan kembali Orde Baru” itu dilihat dari siapa-siapa yang berada di lingkungannya dan apa-apa saja yang telah dilakukan, maka sesungguhnya Jokowi sendirilah yang sekarang mengadopsi cara-cara Orba.
Contoh. Coba saksikan kultus individu terhadap Jokowi oleh para pendukung setia beliau. Semakin kental hari ini. Lihat sana bagaimana Surya Paloh mendewa-dewakan Jokowi. Bagaimana Luhut Panjaitan memuja-muji dia. Bagaimana Romahurmuziy, Muhaimin Iskandar, Said Agil, dll, menjunjung tinggi Pak Jokowi. Bukankah ini cara-cara Orba?
Lihat saja independensi media massa yang kini hancur-lebur. Media-media besar resmi menjadi corong penguasa. Mereka terkooptasi dan menginjak-injak prinsip ‘fairness and fearless journalism’. Di mana-mana wartawan menjual diri. Berlomba-lomba menjilat penguasa demi berbagai alasan, terutama alasan finansial. Bukankah ini praktik di masa Orba?
Tengok saja pengerahan kepala-kepala daerah agar mendukung Jokowi. Tidakkah ini mencemari good governance dan demokrasi yang dulu dilakukan oleh Orba?
Perhatikan nepotisme yang berkembang di lingkungan birokrasi, BUMN, TNI dan Polri.
Di jajaran TNI, coba lihat bagaimana menantu Hendropriyono, Jenderal Andika Perkasa, bisa menyingkirkan tradisi kenaikan pangkat dan promosi jabatan. Dalam waktu lima (5) tahun saja sejak bintang satu dia bisa menjadi KSAD. Begitu juga menantu Luhut Panjaitan, Maruli Simanjuntak, juga melejit dengan kecepatan tinggi menjadi bintang dua (mayjen) dengan jabatan kunci. Tidakkah ini praktik Orde Baru?
Coba Anda buka catatan tentang ekploitasi wewenang birokrasi untuk kepentingan pribadi Jokowi. Dia membagi-bagikan sertifikat tanah di musim kampanye sekarang ini. Tidakkah itu ‘abuse of power’ yang lumrah terjadi di era Orde Baru?
Seterusnya, silakan telusuri tindakan persekusi terhadap kegiatan-kegiatan kelompok oposisi. Masih ingatkah Adian Napitupulu ketika polisi ikut membubarkan acara deklarasi GantiPresiden yang 100% legal itu? Bukankah praktik polisi memihak di era Jokowi ini adalah cara-cara Orba?
Jadi, siapa yang telah nyata kembali ke Orde Baru? Jokowi atau Prabowo?
(Penulis adalah wartawan senior)
[swa]