GELORA.CO - Sudah lebih dari empat bulan berlalu sejak gempa berkekuatan 7,0 skala richter mengguncang Lombok. Namun, sejumlah warga yang menjadi korban selamat gempa masih ada yang belum merasakan realisasi janji Presiden Joko Widodo.
Sydney Morning Herald pekan lalu mengangkat kisah Akila, bayi berusia tiga bulan yang lahir dari keluarga korban selamat gempa Lombok. Dia lahir 9 September lalu, atau satu bulan pasca gempa terjadi.
Namun sejak lahir, Akila hanya mengenal tenda dan rumah sementara. Dia belum benar-benar merasakan rumah yang layak.
Seperti ribuan orang lainnya yang menjadi korban selamat gempa, Akila dan keluarganya masih menunggu bantuan sebesar 50 juta rupiah per rumah tangga dalam bantuan yang dijanjikan oleh Jokowi empat bulan lalu untuk membantu membangun kembali rumah mereka.
Sang ayah, Hanan, mengatakan bahwa dia saat ini telah kembali bekerja purna waktu di sebuah resor di Gili Trawangan. Namun bisnis pariwisata belum pulih karena jumlah wisatawan belum kembali seperti sebelum gempa terjadi.
"Kami sedang menunggu (untuk bantuan pemerintah). Saya bersyukur bahwa bayi perempuan saya atau siapa pun di keluarga saya tidak sakit karena tinggal di tenda atau rumah sementara," kata Hanan.
"Tapi itu (rumah sementara) bocor saat hujan, sangat panas di siang hari dan sangat dingin di malam hari. Ini tidak ideal. Kami tinggal di dekat lautan. (Ketika) angin kencang. Saya takut itu akan menerbangkan rumah kami saat ini," jelasnya.
Setelah berbulan-bulan tinggal di akomodasi sementara, Hanan menagih janji Jokowi.
"Tolong tepati janjimu, sudah berbulan-bulan sekarang," ujar Hannan yang tinggal di desa Pemenang.
Ismail, warga lain Pemenang, kini tinggal di rumah sementara yang dibangun oleh LSM Aksi Cepat Tanggap. Rumah sementara yang ditinggalinya merupakan satu dari 14 rumah sementara di desanya.
Rumah sementara ini memiliki satu kamar tidur dan ruang tamu, lembaran aluminium untuk atap dan tidak ada listrik. Terkadang ketika hujan air masuk ke dalam, karena ada celah antara dinding dan atap untuk ventilasi.
"Kami berterima kasih untuk itu, tapi ini hanya sementara. Kami masih menunggu bantuan pemerintah. Yang saya tahu adalah rumah kami telah terdaftar sebagai rusak parah," ujarnya.
Dia tidak menyalahkan Presiden, atau pemerintah pusat, atas penundaan rekonstruksi.
"Saya tidak berpikir itu salah Jokowi, saya pikir itu adalah pemerintah lokal. Saya tidak tahu apa yang mereka lakukan, saya tidak mengerti mengapa itu begitu lama. Apa penahanannya?," sambungnya.
Amrulah sendiri bekerja di sebuah lokasi konstruksi di desanya di Nipah di Lombok utara.
Amrulah mengatakan, di Nipah, dia dan tetangganya belum menerima uang untuk membangun kembali rumah mereka.
"Tidak seorang pun di desa kami telah menerima apa pun yang saya ketahui. Mungkin Presiden telah menjadi miskin? Hampir semua orang di desa kehilangan rumah mereka. Tapi sampai sekarang, tidak ada apa-apa," katanya.
Diketahui bahwa gempa yang terjadi 5 Agustus lalu menghancurkan sekitar 229.229 rumah, 45 sekolah, 78 rumah ibadah, empat fasilitas kesehatan dan 3.818 fasilitas umum termasuk jalan, jembatan, lampu lalu lintas, kuburan dan lapangan olahraga. Perkiraan korban tewas terbaru adalah 623 orang.
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, Sutopo Purwo Nugroho, yang bertanggung jawab untuk menyalurkan uang bantuan, menyalahkan pemerintah lokal Lombok atas penundaan itu.
"Tidak semua orang yang rumahnya hancur telah menerima bantuan. BNPB telah mencairkan 1,5 triliun Rupiah sejauh stimulus (untuk membangun kembali) rumah-rumah. Tetapi pemerintah daerah belum memberikan semua uang kepada orang-orang. Lambatnya pengumpulan data telah menyebabkan penanganan yang lambat," jelasnya.
Sementara itu Bank Dunia menjanjikan 1,4 miliar dolar AS untuk pemulihan gempa Indonesia.
Dalam artikel yang sama, dia mengatakan bahwa pembangunan Rumah Instan Sederhana Sehat, atau Rumah Sehat Sederhana Instan (RISHA) yang merupakan rumah panel beton yang seharusnya dapat dibangun dengan cepat, saat ini berjalan terlalu lambat.
"Target (untuk rekonstruksi rumah) adalah 400 unit per hari, sebagaimana Wakil Presiden (Jusuf Kalla) telah mengarahkan. Hari ini hanya 26,5 unit per hari," kata Sutopo.
Data dari gugus tugas rekonstruksi di Lombok menunjukkan bahwa 4.151 keluarga sejauh ini telah meminta rumah RISHA dibangun untuk mereka, tetapi hanya 49 yang telah dibangun dan pembangunan 1.447 unit lainnya sedang berlangsung.
Sementara itu, 4.605 keluarga lainnya telah meminta rumah konvensional, tetapi hanya 25 yang telah dibangun dan 791 sedang dibangun.
Sedangkan 4.605 keluarga telah mendaftarkan sebuah rumah kayu untuk dibangun untuk mereka, tetapi hanya 11 yang telah diselesaikan sejauh ini, dengan 288 lainnya sedang dibangun. [rmol]