GELORA.CO - Pasca aksi terorisme di Sarinah, Jakarta Pusat pada awal 2016 lalu pemerintah mengajukan kepada DPR agar melakukan Revisi Undang-undang Anti Terorisme. Tuntutan tersebut banyak dikemukakan termasuk Kapolri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti.
Badrodin beranggapan bahwa dengan adanya RUU Anti Terorisme untuk melakukan deteksi dini terhadap serangan teror. Menurutnya, dalam UU anti terorisme nomor 15 tahun 2003 tidak mengatur tentang pencegahan aksi terorisme.
Namun, ketika draft RUU terorisme versi pemerintah diajukan ke DPR, ada beberapa pasal yang dianggap berpotensi melanggar HAM. Pertama, ‘pasal Guantanamo’. Pasal tersebut dinilai melanggar HAM karena dalam pasal tersebut ditulis bahwa penyidik mempunyai kewenangan untuk menahan terduga teroris selama enam bulan.
Bahkan, Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Salman Luthan mengusulkan agar pasal tersebut dihapus karena tidak sesuai dengan kaidah hukum yang adil.
Kedua, perpanjangan masa penahanan. Dalam draft RUU Terorisme, masa tahanan bagi terduga teroris diperpanjang dari tujuh hari menjadi tigapuluh hari. Hal ini pun mendapat sorotan dari banyak pihak, salah satunya Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani.
Arsul menilai perpanjangan masa penahanan bagi terduga teroris dari tujuh hari ke tiga puluh hari itu tidak perlu. Sebab, dalam undang-undang terorisme yang sekarang laporan intelijen itu sudah jadi alat bukti.
Dalam perjalannya, RUU terorisme mengalami berbagai dinamika. Misalnya adalah adanya permintaan dari Kepolisian untuk RUU dipercepat seiring dengan adanya aksi bom. Akan tetapi di sisi lain, DPR menganggap Pemerintah lambat dalam hal penetapan definisi terorisme itu sendiri.
Definisi terorisme pun turut menjadi perdebatan. Pemerintah dan DPR cukup alot saat membahas definisi terorisme karena Pemerintah ngotot untuk tidak memasukkan motif dan tujuan dalam definisi terorisme. Sebaliknya, DPR menganggap bahwa hal itu sangat krusial.
Definisi dari pemerintah sebagai berikut: Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban, yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Karena DPR menganggap bahwa dalam definisi terorisme harus dicantumkan motif dan tujuan, maka pemerintah pun sepakat dengan DPR mengigat semua fraksi setuju harus ada motif dan tujuan. Maka disepakati bahwa definisi terorisme adalah sebagai berikut: Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.
Bahkan, Presiden Joko Widodo berambisi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Terorisme karena pembahasan RUU Anti Terorisme dianggap terlalu lama. Pernyataan Presiden pun langsung dimentahkan oleh Wakil Ketua DPR, Fadli Zon yang menegaskan tidak perlu dibuat Perppu karena saat itu masih berlaku UU Anti Terorisme lama masih berlaku.
Setelah berlangsung sekitar dua tahun, RUU Anti Terorisme disahkan menjadi Undang-undang pada 25 Mei 2018. Pasal-pasal yang dianggap melanggar HAM, seperti ‘Pasal Guantanamo’ dan penambahan masa tahanan dihapus.
Menurut Muhammad Syafii, terdapat banyak penambahan substansi pengaturan dan Undang-Undang Antiterorisme yang baru, yakni ditambahkannya bab pencegahan, penambahan ketentuan pidana bagi pejabat yang melanggar ketentuan dalam penindakan, dan sebagainya. Selain itu, ada penambahan juga ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif.
Meski demikian, perlu ada catatan kritis terhadap berlakunya Undang-undang Anti Terorisme. Apakah UU Terorisme berlaku kepada semua orang yang melakukan tindakan teror sesuai devinisi terorisme atau tidak? Sebab, sebelum diajukannya RUU terorisme terjadi bom Alam Sutera namun pelakunya tidak disebut teroris.
Dan teroris di Papua seharusnya ditindak dengan menggunakan UU Terorisme. Tentu jika penegak hukum ingin konsisten dalam pemberantasan terorisme, OPM tidak hanya dipukul mundur tapi juga ditangkap lalu diadili. Bila perlu diinterogasi lebih dalam guna mendapat informasi yang detil. Bahkan, langkah tersebut bisa sebagai deteksi dini tindakan teror OPM yang akan datang.
Maka, di tahun 2019 mendatang diharapkan tidak ada ketimpangan dalam penegakan hukum terhadap pelaku terorisme. Semua haru sama, adil, transparan dan berdasarkan Hak Asasi Manusia. Kita tidak ingin setelah UU Terorisme diketok, justru keok dengan orang-orang tertentu.[kn]