GELORA.CO - PERTAMA, soal Freport ini tidak diselesaikan dengan pendekatan kedaulatan negara. NKRI justru menundukkan diri pada kedaulatan korporat, manakala mengambil langkah divestasi saham melalui Inalum.
Jika pendekatannya kedaulatan negara, maka Freeport itu kecil. Sebuah perusahaan tambang yang cuma modal mesin.Mesin itu jika dinilai dengan uang mungkin hasil menambang emas di Papua sebulan cukup untuk mengganti.
Faktanya, hanya dengan modal mesin Freeport mengangkangi emas Papua puluhan tahun, korporat mampu mengalahkan negara.
Kedua, Republik ini dikuasai pemimpin yang tidak becus. Tidak punya visi, kosong narasi, pemimpin yang mudah di-'kibuli' dengan citra dan gegap gempita. Pemimpin, yang modal kamera 2 jutaan sudah sibuk foto ke sana kemari, mengunggahnya di sosial media dan mengklaim sebagai negarawan sejati hanya dengan bermodal foto selfie.
Kaua punya visi, sederhana saja. Kita tidak perlu usir Freeport, cukup duduk manis tunggu 2021 saat kontrak karya berakhir dan demi hukum tambang Freeport menjadi milik NKRI.
Sayangnya, sihir yang dihembuskan oleh penjajah Amerika dan para anteknya, putera bangsa ini tak cakap mengelola Freport. Padahal, mayoritas pekerja Freeport adalah anak bangsa. Sederhana sekali mengelola tambang emas itu, penduduk pribumi di Cikotok saja sanggup. Dengan cara membuat lorong jangkrik saja, kita bisa nambang. Apalagi kita punya teknologi.
Bagaimana dengan teknologi? Kita punya ITB, ITS, UGM, dll. Meremehkan putra bangsa, Kaua otak putera bangsa ini tak paham cuma gali tanah untuk ambil emas Freport yang konsentratnya sangat pekat. Depositnya kasih sangat melimpah. Itu penghinaan Bung!
Ketiga, para cheerleaders baik orang partai maupun politisi dan cebong itu lebih bangga menjadi pekerja Freport. Padahal, jika tambang diambil alih NKRI, pekerja Freeport yang mayoritas putera bangsa demi hukum terkonversi menjadi pegawai NKRI, lebih bangga dan bermartabat menjadi pekerja NKRI, mengabdi pada NKRI ketimbang mengabdi pada penjajah Freeport.
Orang partai, penguasa antek, cebong dan para cheerleaders ini selain sebagian kenyang makan duit haram Freport, sebagian yang lain itu kultus terhadap partai. Pejah gesang nderek partai, benar salah bela Jokowi.
Jokowi itu bagi para cheerleaders sudah dianggap seperti Nabi saja. Ma'sum, haram dikritik. Yang mengkritik dibui. Padahal, masalahnya Jokowi tak mampu adu argumentasi saja.
Keempat, penyelesaian Freeport ini tidak mau tunduk pada basis teologis. Jika taat kepada syariah Islam, Freport itu haram menguasai tambang emas yang realitasnya milik publik (Public property). Dalam Islam, setiap tambang dengan deposit melimpah itu demi hukum milik umat, milik bersama, domain publik, tidak boleh atau haram dikuasai pribadi, privat atau korporasi, baik domestik apalagi asing.
Karena terkategori milik umat (milkiyatul ammah) maka hanya negara yang punya wewenang untuk mewakili umat, mengelola harta bersama (public property), kemudian hasil pengelolaannya dikembalikan kepada umat selaku pemiliknya. Bisa dikembalikan dalam bentuk layanan publik, fasilitas publik, atau natural barang sebagaimana wujud asalnya. Tergantung negara, yang melihat seberapa besar aspek kemaslahatan dari pilihan-pilihan pengembalian harta kepada umat.
Jadi, dengan pendekatan berbasis teologi Islam urusan Freeport itu mudah, langsung sita, Freeport diminta angkat semua peralatan dan mesin bawa ke negeri paman Sam, atau dikompensasikan dengan hak negara yang selama ini telah dikemplang Freeport. Sederhana bukan ?
Masalah Freeport ini menjadi sulit dan njelimet, karena kita memiliki pemimpin kualitas antek, kualitas makelar. Dan hukum yang mengatur negeri ini, Import dari penjajah. Karenanya, tidak mungkin hukum Import dari penjajah mampu mengusir penjajah Freport. Ngimpi kali yee. [***]
Nasruddin Joha
Pemerhati politik [rmol]