Oleh: Agi Betha*
GELORA.CO - Memang hanya Jaenudin yg cocok acting begini. Membayangkan jika hal yg sama ini dilakukan oleh SBY, PS, bahkan bu Mega sekalipun, kok rasanya tak mungkin.
Tontonan menggelikan. Di batas lokasi yg sudah ditetapkan, semua anggota rombongan berhenti berjalan. Lalu Jaenudin membetulkan poni dan memberikan lambaian tangan kecil, tanda dirinya mulai berjalan sendirian ke arah bibir pantai, dimana awak media atau para kameraman telah menunggu.
Di lokasi berikutnya, kameraman telah bergerombol siap mengabadikan. Jaenudin harus terlihat berjarak dan terpisah dari pengawalan. Yaitu agar gambar ia terlihat sendirian berefek amat dramatis jika dipandang dari sudut kamera yg pas.
Kesan lonely, somehow dapat memberikan kesan seseorang itu tengah merenung. Sosok itu seolah sedang berpikir keras. Atau tampak menahan sedih. Atau justru hendak memperlihatkan kekuatan dirinya saat sendirian di tengah alam sekitar nan ganas. Begitu banyak nuansa yg ingin dihadirkan pemotretnya untuk mengaduk-aduk emosi penonton.
Tapi sayangnya, kesan itu hanya efektif sekali. Sang sutradara lupa bahwa ketika SATU ADEGAN YANG SAMA selalu diulang2 di banyak kesempatan, di berbagai lokasi bencana, maka orang akan tahu bahwa itu adalah adegan yg direncanakan. Diskenariokan dengan matang. Polanya sama. Modusnya serupa. Dilakukan untuk kebutuhan pencitraan.
Jaenudin tidak salah, dia hanya lugu. Atau selalu menurut saja, akibat malas berpikir. Yg keliru adalah tim kreatif yg tidak memperbaharui story board. Mereka menuntut masyarakat untuk terus bereaksi sama, yaitu rasa penuh simpati kepada Jaenudin. Berharap kepada reaksi yg polos. Mereka terlanjur merendahkan daya analisa penonton yg cerdas.
Tim branding berharap adegan2 LONELY itu terus memanen LOVELY. Padahal teori umum mengatakan, sesuatu yg sifatnya repetitif justru membuat bosan. Mencipta muak. Maka tak heran seharian kemarin foto2 dan rekaman video Jaenudin menjadi bulan-bulanan. Menuai banyak cemohan.
Tim Jaenudin tidak paham, bahwa manusia selalu menyukai ekspresi manusia lainnya. Tidak pernah bosan menyaksikan spontanitas. Jaenudin adalah pemimpin manusia hidup, maka ia harus mengutamakan berinteraksi kepada yg hidup.
Jadi ketika Tim Personal Image Jaenudin, dengan dibantu Media2 pendukungnya, menyebarkan foto2 bahwa ia lebih mementingkan berinteraksi dengan alam, maka selesailah semuanya.
Rakyat lebih menyukai emosi manusia hidup. Keadaan benda mati adalah segmen kedua, bukan di panggung utama. Rasa haru biru tidak akan muncul dari melihat pemandangan Jaenudin bersama bebatuan, atau karena melihat punggungnya yg menghadap lautan. Adegan2 seperti itu adalah level pak Lurah, bukan kelas Presiden.
Di tengah bencana besar, alam adalah cerita warna-warninya. Yg jadi pusat perhatian utama tetap korban manusianya. Nyawa dan cerita kehidupan di baliknya. Karena itu adegan menggenggam tangan para korban yg putus harapan, memeluk mereka yg melolong kesakitan, membisikkan asa ke telinga manusia yg butuh pertolongan, adalah Headline.
Sebetulnya Jaenudin bisa menjadi setitik cahaya di tengah hamparan kesedihan, jika timnya pandai mengelola isu. Tapi faktor keikhlasan seseorang memang tidak bisa dibuat-buat, karena itu lahir dari martabat dan integritas yg melekat. Sedangkan pencitraan adalah kebiasaan yg bisa membuat ketagihan.
Jadi, agar tidak menjadi pergunjingan, tidak melukai hati rakyat, siapapun pemimpin harus selalu ingat bahwa menjadikan bencana sebagai obyek pencitraan adalah bagai menambahkan bencana di atas bencana.
*Penulis adalah Pegiat Media Sosial
[swa]