GELORA.CO - BMKG mengimbau warga untuk waspada terhadap potensi tsunami karena Gunung Anak Krakatau kini dalam status siaga (level III). Aktivitas Gunung Anak Krakatau yang meningkat ini diwaspadai dapat kembali memicu terjadinya tsunami.
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Gegar Prasetya mengatakan sudah melihat citra satelit kondisi Gunung Anak Krakatau. Saat ini dimensi gunung yang ada di Selat Sunda itu sudah tinggal seperempat.
"Semalam saya dapat citranya, aktifnya sepertinya semalam. Sekarang cuma seperempat, cuma sekitar segitu," kata Gegar saat dihubungi, Kamis (27/12/2018).
Dia mengatakan hal yang mesti diketahui pertama yakni dimensi dari Gunung Anak Krakatau. Setelah itu baru dapat diperkirakan potensi besarnya tsunami yang bisa terjadi.
"Cuma apakah tsunami atau tidak, perlu dilihat struktur dari volcano-nya masih komplet nggak? Karena itu yang menentukan nantinya seberapa besar tsunami yang bisa dibangkitkan," ucap Gegar.
Menurutnya, penting untuk memiliki batimetri atau penampakan dimensi gunung di bawah air. Selain itu diperlukan observasi langsung ke lokasi.
Baca juga: Terungkap! Dentuman Misterius Dipastikan Suara Erupsi Anak Krakatau
Secara umum, Gegar menjelaskan ada empat aktivitas Gunung Anak Krakatau yang dapat memicu terjadinya tsunami. Hal yang paling pertama yakni erupsi dari gunung tersebut. Erupsi bisa menyebabkan terjadinya guguran material yang memicu terjadinya longsor dalam laut. Selain itu erupsi yang kuat bisa memunculkan getaran yang kuat hingga kemudian memicu terjadinya gelombang air.
"Pertama, kalau dia gunung aktif pasti erupsi. Jadi letusan itu apakah dari kolaps kolom atau guguran lava pijar yang jatuh. Selain itu kalau getaran kuat, kalau menyemburkan dia meledak, kalau meledak akan menghasilkan getaran dari tekanan ya," ucap Gegar.
Mekanisme kedua yakni kolaps atau rontoknya dinding gunung. Kondisi ini terjadi seperti pada Sabtu (22/12) lalu.
Gegar menyebut kondisi ini sebenarnya yang paling potensial menyebabkan tsunami. Namun, lanjutnya, perlu dipastikan dimensi Gunung Anak Krakatau saat ini.
"(Paling potensial) kemarin kolaps itu, tapi sudah terjadi kan kemarin. Terus tinggal nanti dicek sisa dimensi gunung," ujar dia.
Potensi ketiga yang bisa memicu tsunami ialah piroklastik. Piroklastik adalah aliran letusan gunung berapi yang bergerak dengan cepat dan terdiri dari gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan.
Kondisi terakhir, tsunami bisa terjadi jika Gunung Anak Krakatau meledak (eksplosif). Gegar mengatakan Gunung Anak Krakatau tak berpotensi meledak seperti ledakan dahsyat 1883 lalu. Apa alasannya?
"Karena kalau dia hanya tinggal single point explotion, dari hasil riset saya, nggak potensial menimbulkan tsunami seperti dulu. Karena dimensinya masih kecil cuma 2 km x 2 km. Sementara kalau dulu, yang tahun 1883, dimensi gunungnya 7 km dan masih ada tubuh gunungnya belum pecah waktu terjadi letusan besar," tuturnya.
Namun begitu, Gegar mengatakan masyarakat mesti tetap waspada. Dia mengatakan imbauan untuk tidak beraktivitas dan menjauh dari 1 km pesisir pantai cukup aman.
"Cukup (aman). Kenapa 500-1 km, saat itu diumumkan kemarin malam itu dalam posisi Gunung Krakatau, dari citra satelit masih 2/3 itu berpotensi besar. Hasil riset saya dari 1990-2008, kalau dia meletus semua, tinggi gelombang 3-4 meter. Itulah kenapa diambil jarak aman dari garis pantai sekitar 500-1 km," ujar dia. [dtk]