GELORA.CO - Pidato dan pernyataan serius calon presiden Prabowo Subianto kembali menuai cibiran dari kubu petahana.
Dalam pidatonya di acara konferensi nasional partai Gerindra, di Sentul, Bogor, Senin 17 Desember 2018, Prabowo mengingatkan negara Indonesia bisa punah kalau salah pengelolaan.
"Kita tidak boleh kalah, kalau kita kalah negara ini bisa punah, karena elit Indonesia selalu gagal melaksanakan amanah dari rakyat Indonesia," kata Prabowo.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah membenarkan apa yang disampaikan Prabowo, bahwa negara memang bisa punah.
Tema 'Negara Bisa Punah' yang dilontarkan Prabowo ini, menurut Fahri, seharusnya melahirkan diskusi serius, bukan malah dicibir.
Berikut selengkapnya tanggapan Fahri Hamzah yang disampaikan di akun twitternya:
Ingin memancing perdebatan ilmiah tentang tema pidato capres @prabowo soal #NegaraBisaPunah tapi siapa Yg bisa menanggapinya secara ilmiah ya?? Karena tema ini seharusnya judul besar dalam debat #Capres2019 ini. #Pilpres2019 akan seru kalau ini jadi perdebatan.
Di masyarakat awan, belum terlalu dipahami bahwa antara Ketimpangan Ekonomi dan Negara Punah ada hubungannya. Itulah sebabnya pidato @prabowo bukan membawa kajian yang serius malah dicibir. Termasuk dari yang rada bisa mikir. Kecuali kalau semua sdh #GakMikir. #NegaraBisaPunah
Narasi yg dibawa prabowo tentang kesenjangan dan kepunahan negara menurut saya itu narasi global. sudah disuarakan intelektual kelas dunia. setidaknya ada 3 buku penting yg ditulis oleh para pakar pembangunan tentang betapa pentingnya dan relevannya isu itu.
1. Capital in the 21st Century (Thomas Piketty), 2. The Price of Inequality (Joseph E. Stiglitz), 3. Why Nation fail (Daron Acemoglu dan James Robinson). Ketiga buku ini mengulas secara teoris dan empiris kesenjangan sampai pada gagalnya sebuah negara.
Saya sendiri menulis buku untuk melacak akar kemiskinan di rakyat kita dan mengapa kita bisa disebut belum sejahtera. Studi saya dibantu beberapa staf di kordinator kesra pimpinan @DPR_RI tidak saja mencoba melakukan kritik teori tapi juga evaluasi statistik.
Saya memang belum membuat kajian tentang kerawanan yang dapat mengancam ke arah kepunahan negara. Tapi saya telah mulai menemukan akar ketimpangan yang cukup mengkhawatirkan. Memang bangsa kita punya Daya Tahan. Tapi waktu bisa punya kehendak lain.
Demikiankah waktu dan sejarah mengajarkan kita, imperium, kerajaan dan negara datang silih berganti, bangkit dan tumbang oleh waktu. Salah satu sebabnya, seperti yang digambarkan oleh sebagian dari 3 penulis di atas adalah soal ketimpangan ekonomi yg menganga.
Thomas Piketty adalah ekonom Prancis yang banyak sekali melakukan studi tentang ketimpangan ekonomi. Salah satu penyebab ketimpangan katanya; hampir di semua negara tingkat pengembalian modal selalu tumbuh lebih cepat 5 sampai 7 kali lipat dari pertumbuhan ekonominya.
Jadi, faktor modal jauh lebih diuntungkan dari pada faktor produksi lain seperti tenaga kerja atau upah buruh. Apalagi di Indonesia, upah buruh per tahun dipatok dan harus mengikuti besaran angka pertumbuhan ekonomi, tidak boleh lebih.
Sedangkan keuntungan pemodal bisa naik 5-7 kali lipat dlm tahun yg sama. Makanya Indonesia banyak memiliki konglomerat yang
masuk orang2 terkaya dunia dan mereka menjadi elit ekonomi yang membangun kekuatan dan kendali dengan dengan dukungan elit politik.
Global Wealth Report merilis 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% kekayaan penduduk. Dan 10% orang terkayanya menguasasi 75,3% kekayaan total penduduk Indonesia (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/10/30/1-orang-terkaya-indonesia-menguasai-46-kekayaan-penduduk). Ini fakta ketimpangan
Sehingga ketika Prabowo mengatakan ekonomi kita dikuasai segelitir elit, itu sangat masuk akal dan gejala ini bukan hanya terjadi di Indonesia, ini sudah menjadi isu dan permasalahan global. Sudah banyak elit dan para intelektual bicara tentang ini.
Sekali lagi, suara pak @prabowo di Indonesia sangat relevan dan sangat mewakili suatu kecemasan. Beliau adalah anak begawan ekonomi Prof. Sumitro Djoyohadikusumo dan keluarga yang sangat “melek” dengan ekonomi suatu negara.
Beliau juga mengurai apa yang juga saya urai dalam buku saya tentang income percapita 4000 USD. Saya malah menemukan angka 3800 USD. Maka jika pendapatan inti didominasi oleh yg 1% maka kalau mereka dikeluarkan sisanya adalah 1900 USD. Belum lagi faktor hutang.
Gejala pemusatan ekonomi ada di mana-mana. Gerakan occupy wall street (2011) di New York akarnya adalah ketimpangan. Slogan ”We are the 99%” yang disuarakan para demonstran merujuk pada ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan di AS antara orang-orang kaya (1%).
Gerakan ini menjadi masif, bahkan Stiglitz dalam bukunya The Price of Inequality menyebut peristiwa gerakan menumbangkan rezim di seluruh dunia, bahkan Arab Spring pun, disebabkan oleh akar ketimpangan ekonomi. Apakah ketimpangan akan menjadi gerakan politik di sini?
Kita tidak mau Indonesia mengalami apa yg dialami oleh negara-negara Eropa Barat sekarang. Ketika kecemasan menjadi perasaan umum. Sehingga sedikit saja pemerintah salah rakyatnya ngamuk. Gerakan #JaketKuning di Perancis hanya dipicu oleh kenaikan BBM sekali saja.
Karena itu, pidato @prabowo adalah jalan keluar dan sekaligus katarsis bagi yg cemas bahwa kecemasan itu ada yang mewakili. Kita harus memikirkan ini, kita harus atasi ini. Negara dalam ketimpangan adalah negara dalam ancaman kepunahan.
Apalagi jika ketimpangan akibat Penguasaan elit ekonomi dan politik atas kekayaan negara harus dihentikan jika kita tidak mau menjadi negara gagal. Reformasi dan pembenahan institusi ekonomi dan politik menjadi mutlak dilakukan. Agar kekuatan dan kekayaan tersebar merata.
Semua institusi harus dibuat sedemokratis mungkin, tidak boleh ada institusi yang tak tersentuh. Semua harus terbuka aksesnya bagi masyarakat. Perbankan harus inklusif dalam menyalurkan kreditnya bahkan partai politik pun harus terbuka siapa pemodalnya.
Inilah saran dari Acemoglu dalam bukunya Why Nation Fail. Meski Apa yang dikatakan Acemoglu tersebut sudah sering diungkap oleh Founding father kita, Bung Hatta. Meski kita sendiri mengabaikannya. Koperasi misalnya tak menjadi soko guru perekonomian kita.
Bung Hatta meletakkan dasar berekonomi negara ini dengan falsafah demokrasi ekonomi, yaitu ekonomi yang bersumber dari, oleh dan untuk rakyat. Penguasaan ekonomi oleh segelintir elit jelas bertentang dengan falsafah itu.
Maka, pidato @prabowo sebagai keturunan para pendiri koperasi dan perbankan sejak zaman dahulu adalah legitimate. Tapi karena beliau akan bertarung menuju kursi kekuasaan tertinggi di Republik ini, biarkan beliau bertarung dengan narasi itu.
Sebagai calon presiden, @prabowo memang harus mengurai solusinya secara lebih nyata. Pidato itu adalah gugatan sekaligus proposal agar apa yg dicemaskan justru dapat kita atasi. Kepemimpinan adalah jawaban dan bisakah Prabowo meyakinkan rakyat? Selamat berjuang!
Masalah tidak bisa selesai dengan modal wajah cengengesan...kita punya masalah serius dan kita perlu orang-orang serius..
Dari twitter @Fahrihamzah, 18 Desember 2018