Oleh: Tony Rosyid*
Boooommm…! Bom meledak. Di Monas. Hari sabtu, 1 Desember 2018. Jam 18.15. Dekat dan menyasar Genset. Tapi gagal.
Setelah semua wilayah Monas disisir panitia, satu bom lagi ditemukan di bawah panggung. Tapi belum sempat meledak.
Dua tempat strategis, yaitu genset dan panggung. Jika genset meledak dan panggung roboh, Reuni 212 akan berantakan. Sebab, tak mudah dapat genset, dan tidak cukup waktu untuk membuat panggung baru. Fortunately, kedua bom tidak meledak sesuai rencana. Jika meledak, ini akan jadi teror besar. Bukan hanya kepada panitia, tapi terutama untuk para peserta Aksi Reuni 212 yang akan hadir.
Peristiwa ini disimpan rapi oleh panitia. Tak disebar. Mereka sepakat untuk diam. Beritanya disembunyikan rapat-rapat. Kenapa? Jika publik tahu, akan ada beberapa kemungkinan terjadi. Pertama, ada peserta yang urung hadir. Dapat nasehat dan hambatan sana-sini. Kedua, aparat punya cukup alasan untuk melarang Reuni 212. Ketiga, memancing emosi para peserta 212 yang belum atau sudah hadir untuk marah dan bersikap anarkis.
Tapi, semua itu tak terjadi. Panitia sudah mulai cukup matang menghadapi teror. Mencoba beradu strategi dengan pihak penteror. Reuni 212 tetap berjalan, lancar dan aman. Pesertanya membludak tanpa terpancing isu bom. Sampai disini, panitia sukses.
Orang bijak berkata: “Zeal ia vulcano, the pick of which the grass of indecisiveness does not grow”. Semangat adalah sebuah gunung berapi, dimana di atas puncaknya rumput keraguan tak akan pernah tumbuh.
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah: siapa terorisnya? Apa targetnya? Lalu, adakah implikasi sosial dan politiknya?
Publik melihat, ada upaya penghadangan hingga penggagalan yang cukup masif terhadap Reuni 212. Siapa yang menghadang? Bukan rahasia umum lagi. Publik juga tahu mengapa sebagain besar media tidak meliputnya. Gak suka? Boleh jadi bukan! Gak layak jadi berita? Sama sekali tidak. Semua pakar media dan komunikasi massa menganggap bahwa Reuni 212 kali ini spektakuler. Selain jumlah dan faktor amannya, juga beragam keunikan yang menarik jadi berita.
Media tertekan. Itulah kesimpulan publik. Berarti ada pihak yang menekan? Pasti! Siapa itu? Publik juga sudah punya jawaban.
Reuni 212 oleh panitia didesign sebagai ikhtiar persatuan umat untuk menyuarakan tegaknya keadilan. Karena diadakan menjelang pilpres, maka otomatis punya implikasi politik cukup kuat. Konsentrasi massa di tahun politik pasti punya implikasi politik. Itulah hukum sosialnya. Karenanya, ada pihak-pihak yang merasa dirugikan secara politis, dan berupaya menggagalkannya. Kepanikan mereka terbaca oleh publik. Sayangnya, tak berhasil.
Reuni 212 adalah sebuah kekuatan sosial yang sukses digelar. Ia dihadirkan untuk melawan ketidakadilan hukum dan berbagai perlakuan yang mengecewakan sebagian besar umat Islam. Berbeda dengan pandangan Syafi’i Ma’arif, mantan ketua umum Muhammadiyah ini bilang: jangan menuduh tidak adil kepada penguasa! Maklum, kata peserta Reuni 212. Mungkin karena Syafi’i Ma’arif tidak pernah ikut merasakan ketidakadilan itu.
Ledakan bom Sabtu malam dilaporkan, lalu diserahkan barang buktinya kepada polisi. Apakah akan ditindaklanjuti, kemudian pelakunya tertangkap? Atau didiamkan dan menguap seperti bom Cawang dan bom molotov yang meledak di rumah Mardani Ali Sera? Juga kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan? Rakyat mesti sabar menunggu. Jika tak ada tindakan, maka akan semakin mempertegas wajah ketidakadilan bangsa ini. Ini pertaruhan moral bagi polisi, dan pertaruhan politik bagi Jokowi sebagai kepala negara.
Ledakan bom yang sedianya jadi teror terhadap peserta Reuni 212, boleh jadi malah akan berbalik arah dan justru menteror elektabiltas Jokowi. Pepatah bijak berkata: “engkau kalah bukan karena kuatnya lawanmu, tapi karena tak terkontrolnya nafsumu”.
Mereka yang hadir di Reuni 212 hampir dipastikan adalah kelompok yang ingin “Ganti Presiden”. Kelompok “Anti Jokowi.” Maka, teror kepada mereka, akan secara otomatis oleh mereka diarahkan persepsinya kepada kubu Jokowi. Ini soal persepsi. Karena politik itu berhubungan dengan persepsi.
Akumulasi dari semua kekecewaan yang dialami peserta dan simpatisan 212, mulai dari penghadangan, tekanan kepada pers dan puncaknya pada peledakan bom di Monas, akan menjadi ancaman serius terhadap elektabilitas Jokowi. Alih-alih menciptakan rasa takut, ledakan bom justru menjadi bom waktu yang menteror elektabilitas Jokowi. Benarkah? Kita tunggu hasil surveinya. Jika pasca Reuni 212 elektabilitas Jokowi anjlok, maka teror itu benar-benar menusuk jantung pertahanan istana. Dan besar potensinya membuat Jokowi kalah. [swa]
*) Penulis adalah Pemerhati masalah bangsa