GELORA.CO - Walau berkali-kali disebutkan bahwa Indonesia rawan terjadi bencana, pemerintah dan masyarakat dinilai tak kunjung sadar akan pentingnya antisipasi bencana.
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut hampir setiap hari wilayah-wilayah di Indonesia dilanda gempa baik dengan skala magnitudo rendah hingga sedang. Bahkan, ada peningkatan frekuensi gempa bumi pada 2018 dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sementara Pusat Vulkanologi dan dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), mencatat di tahun ini ada peningkatan erupsi di antara 20 gunung api yang statusnya di atas normal.
Pengurus Pusat MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Centre), Hening Parlan, mengatakan harus ada perubahan kebijakan secara besar-besaran di pemerintahan dan otoritas pemantau seperti BMKG maupun PVMBG.
Dalam pantauannya, anggaran untuk mitigasi bencana yang sangat kecil di APBN. Untuk tahun 2019, angkanya hanya Rp610 miliar.
"Persoalan ini kan sudah diperjuangkan sejak puluhan tahun lalu. Tapi selalu saja anggaran besar justru ditaruh untuk emergency. Saat kesiapan bencana, dananya sedikit," ujar Hening Parlan kepada BBC News Indonesia, Minggu (30/12).
Tak hanya pemerintah pusat yang dinilai pelit menggelontorkan anggaran untuk pencegahan bencana, pemda juga sama. Menurut Hening Parlan, mulai dari pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota, dana untuk mitigasi tak lebih dari lima persen.
"Bahkan di kabupaten, cuma dua persen saja. Gimana mau bergerak untuk isu bencana? Jadi harus dinaikkan jumlahnya," imbuhnya.
Persoalan lain, bagaimana menyebarkan informasi mengenai indikasi akan terjadinya bencana secepat mungkin kepada masyarakat. Kalau merujuk Jepang, kata dia, baik televisi maupun radio selalu menghentikan siarannya jika ada kabar potensi gempa besar atau tsunami.
Sementara di Korea Selatan, menggunakan telepon genggam untuk memberitahu informasi semacam itu. Sehingga peringatan dini langsung sampai ke masyarakat tanpa harus menunggu dari pemerintah daerah. Cara itu, menurutnya, bisa ditiru.
"Di Korea itu, kalau ada gempa semua handphone akan bunyi. Jadi misalnya ada peringatan gelombang tinggi, orang akan langsung tahu dan lebih waspada. Kan bisa pemerintah kerjasama dengan provider," tuturnya.
"Jadi pemda harus ambil alih berbagai bidang ketika menyangkut nyawa orang."
Meski begitu, Hening mengakui sangat sulit menyadarkan masyarakat akan ancaman bencana. Itu mengapa, pemda harus berulang kali mengingatkan tentang kesiapsiagaan bencana melalui berbagai pertemuan semisal gereja atau masjid. Sehingga mereka peka terhadap lingkungannya.
"Sosialisasi harus masif. Kan banyak cara contohnya di gereja, masjid. Di masyarakat sendiri harus dibiasakan membuka materi-materi penanggulangan bencana lewat akun resmi pemerintah."
"Jadi bencana sudah jadi bagian sehari-hari gitu loh. Bahwa itu menjadi menu tiap hari. Dengan begitu risikonya bisa dikurangi."
Sebuah kapal terseret ke daratan akibat gelombang tsunami yang menerjang Provinsi Banten dan Provinsi Lampung. - Getty Images
Menanggapi hal itu, Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyebut menyiapkan tiga pos anggaran untuk menangani bencana yang terpencar di beberapa dinas serta BPBD. Khusus mitigasi, menjadi kewajiban BPBD dalam memberikan pelatihan kepada masyarakat termasuk di antaranya membuat desa tangguh bencana.
Namun demikian, kata Ganjar, besaran anggaran bukan satu-satunya solusi mengurangi risiko bencana. Yang utama menurutnya, masyarakat paham langkah-langkah mengantisipasi bencana.
"Anggaran tidak selalu menyelesaikan masalah, yang paling kuat masyarakat tahu dan paham, teredukasi sehingga bisa menyelamatkan diri," kata dia.
Sepanjang tahun 2018, bencana tanah longsor mendominasi terjadi di wilayah Jawa Tengah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah mencatat ada sekitar 2.000 kejadian longsor di wilayah ini.
Bencana longsor terkini terjadi di Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, pada pertengahan Desember lalu. Seorang warga luka ringan dan 3 rumah rusak akibat diterjang material longsor.
Pusat Vulkanologi dan dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat setidaknya ada 20 gunung api yang statusnya di atas normal. Semisal Anak Krakatau, Sinabung, Soputan, Gamalama, dan Karangetang. Puluhan gunung itu, kata Juru Bicara PVMBG, Kasbani dibagi menjadi tiga bagian mulai dari level waspada, siaga, hingga awas.
"Tahun ini memang banyak gunung api yang erupsi. Hampir setiap hari meletus. Makanya laporan dari pos pemantau bisa enam jam sekali," ujar Kasbani kepada BBC News Indonesia, Minggu (30/12).
Karena itu, PVMBG meminta masyarakat yang berlibur atau mendaki, agar menjaga radius aman. Ia mencontohkan Gunung Soputan si Sulawesi Utara yang memiliki radius aman empat kilometer. Begitu juga dengan Gunung Agung di Bali.
Namun demikian, gunung api yang berstatus normal seperti Tangkuban Perahu, Ciremai, Salak, dan Galunggung ada peringatan agar tak menginap di bibir kawah.
Untuk memantau seluruh gunung api itu, PVMBG memiliki sejumlah peralatan mulai dari seismograf, Global Positioning System (GPS), dan kamera CCTV. Hanya saja, menurut Kasbani, jumlah alat pemantau itu berbeda di tiap-tiap gunung.
"Kalau Gunung Agung, kita punya 16 seismik, jadi tergantung gunungnya. Sementara Merapi, dipantau 30 seismograf."
Seismograf merupakan alat untuk mengetahui aktivitas detak jantung gunung api, sedangkan GPS berfungsi memantau kembang-kempisnya.
Masyarakat pun, kata dia, bisa ikut memantau kondisi terkini gunung api di website dan aplikasi berbasis telepon pintar yakni magma indonesia.
Frekuensi Gempa Bumi Meningkat Tahun 2018
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut hampir setiap hari wilayah-wilayah di Indonesia dilanda gempa baik dengan skala magnitudo rendah hingga sedang. Bahkan kata Deputi Bidang Geofisika BMKG, Muhammad Fadly, ada peningkatan frekuensi gempa bumi pada 2018 dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Terus ada gempa bumi, baik di Palu, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Lombok, Aceh, Sumatera, Nias. Jadi memang saat ini sesar atau patahan itu sedang aktif-aktifnya. Tapi tidak apa-apa, yang penting tidak besar magnitudonya. Itu kan pelepasan energi untuk mencapai kestabilan," ujar Deputi Bidang Geofisika BMKG, Muhammad Fadly, kepada BBC News Indonesia, Minggu (30/12).
"Kecuali di suatu tempat belum ada gempa, tapi kita tahu ada sesar atau patahan di sana. Itu yang bahaya," sambungnya.
Indonesia mempunyai 1.000 seismograf, sedangkan Jepang memiliki 1.500 perangkat tersebut. - Reuters
Karena itu saban hari BMKG bekerja mendeteksi goncangan-goncangan akibat gempa dengan menggunakan 175 seismograf.
Alat itu, menurut Muhamad Fadly, sesungguhnya masih sangat kurang dari angka ideal yakni 1.000 seismograf. Ia berkaca pada Jepang yang luas negaranya seperlima Indonesia saja, punya 1.500 alat deteksi.
"Sensor itu kan dipasang sejak 2006. Kalau sekarang berarti sudah banyak yang rusak, pemeliharaannya juga setengah mati. Jadi yang sudah tidak berfungsi, kita ganti. Jadi ya sampai jumlahnya tetap segitu saja," jelasnya.
Lantaran kurangnya seismograf, data gempa bumi yang diterima dan diolah BMKG tidak presisi. Karena itu, dia berharap tahun depan BMKG bisa menambah alat pendeteksi itu hingga mencapai 200.
"Ya meski masih kurang, tapi karena keterbatasan anggaran."
Meski tak bisa memprediksi kapan gempa bumi terjadi, BMKG akan memaksimalkan peralatan yang ada untuk menyebarkan informasi kepada pemerintah daerah maupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Beberapa medium yang dipakai seperti media sosial, website, dan aplikasi berbasis telepon pintar.
Sementara itu, koordinasi antarlembaga yang selama ini macet, kata Muhamad Fadly, tengah dicarikan jalan keluarnya. Sebab BMKG hanya bisa mendeteksi terjadinya tsunami yang disebabkan gempa bumi. Sedangkan penyebab dari gunung api atau longsor, nihil.
"Gunung api di Indonesia kan banyak, kalau jaringan BMKG bisa masuk ke situ, pemantauan bisa jadi lebih cepat. Jadi ke depan sudah dibicarakan supaya kita bisa masuk ke jaringan PVMBG." [viva]