GELORA.CO - Kampanye yang dilakukan pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) selama ini dinilai belum efektif.
Pasalnya, dukungan terhadap Jokowi saat ini tak sebesar seperti pada Pilpres 2014. Akibatnya membuat pamor Jokowi stagnan.
"Jokowi pada Pilpres 2019 ini tak sepopuler dan seheboh pada saat 2014 dukungan terhadap Jokowi mengalir begitu besar. Tetapi melihat beberapa fakta lapangan tidak sedikit acara-acara kampanye yang dihadiri sepi pendukung. Hal tersebut bisa dibandingkan dengan banyaknya relawan militan yang merapat ke kubu pasangan nomor urut 02 seperti relawan-relawan Jokowi pada masa Pilpres 2014," papar pengamat politik Panji Nugraha kepada wartawan, Sabtu (22/12).
Melihat hal yang demikian menimbulkan penilaian jika Jokowi tidak mampu menaikkan eletabilitas disebabkan beberapa faktor politis. Pertama, Jokowi saat ini one man show dalam kampanye meninggalkan jauh pasangannya Ma'ruf Amin yang seharusnya menjadi tambahan elektoral pada saat pamornya stagnan.
Hal tersebut berbeda dengan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi), di mana Sandi menjadi tambahan untuk elektabilitas Prabowo karena melakukan blusukan ke basis-basis yang bukan segmen pemilih.
Kemudian, strategi berbeda yang diterapkan Jokowi kepada mantan Presiden SBY. Pada Pilpres 2014, Jokowi tidak melakukan serangan-serangan politik kepada kubu SBY tetapi saat kasus atribut Partai Demokrat di Riau yang menurut keterangan ada dugaan peran pemerintah dan juga parpol koalisi Jokowi. Hal ini menimbulkan efek negatif di publik.
"Hingga kini suara SBY masih pantas diperhitungkan karena punya pendukung loyalis. Justru dengan peristiwa tersebut membuat SBY turun gunung lebih cepat dan akan berdampak tambahan elektoral kepada pasangan capres dan cawapres nomor urut 02," jelas Panji.
Ketiga, terkadang tim kampanye Jokowi keliru dalam mengolah isu dengan klaim kerja pemerintah dalam membangun infrastruktur. Sebab tidak mengakui peran dan kerja pemerintahan sebelumnya. Berakibat banyak bantahan dari pihak koalisi ataupun elite pemerintahan sebelumnya yang angkat bicara atas klaim kerja pemerintah Jokowi.
Terakhir adalah faktor media massa tidak independen lagi karena dikuasai para petinggi parpol pendukung Jokowi. Khususnya ketika pada saat Reuni Akbar Mujahid 212 yang akhirnya membuat kepercayaan publik menurun pada media-media yang dinilai sudah terpengaruh politik praktis.
"Faktor-faktor tersebut membuat strategi kampanye Jokowi selama ini dijalankan dinilai tidak seefektif pada Pilpres 2014 lalu. Maka demikian wajar jika saat ini dukungan kepada kelompok oposisi semakin besar," tegas Panji yang juga direktur eksekutif Bimata Politica Indonesia (BPI). [rmol]