GELORA.CO - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dianggap sering salah kaprah dalam memaknai surplus atau defisit beras.
Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan sebelumnya Bulog diberi kebijakan membeli Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 3.700 per kilogram sebagaimana tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2015.
"Jadi keluarga petani tidak akan mau jual gabah ke Bulog karena harga GKP-nya hanya Rp 4.000 per kilogram padahal biaya yang mereka keluarkan Rp 4.200. Akibatnya gudang Bulog kosong padahal gabah dan berasnya ada," ujar Winarno saat dihubungi, Rabu (31/11).
Tak hanya itu, lanjutnya, Kementerian Perdagangan juga menilai bahwa naiknya harga GKP menjadi Rp4.200 per kilogram terjadi karena stok beras kosong. Padahal bila dilihat alasan kenaikan harga gabah tersebut adalah inflasi.
Di mana kenaikan harga gabah ini baru terjadi pada Juni 2018 lalu saat Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menerapkan fleksibilitas harga GKP sebanyak 10 persen. Jadi, total harga yang harus dikeluarkan Bulog untuk membeli GKP di tingkat petani adalah Rp 4.180.
Sebagaimana diketahui, tingkat inflasi Indonesia masing-masing selalu berada diatas angka 3 persen. Bila dihitung dari tahun 2015 sampai 2017 maka tingkat inflasi mencapai angka 13 persen. Bila nilai total inflasi dikalikan dengan harga GKP Rp 3.700 maka nilainya menjadi lebih tinggi, yakni Rp 4.180 pr kilogram.
"Nah ini dianggap pemerintah harga naik dari Rp3.700 menjadi Rp4.200 per kilogram, padahal nilainya sama. Karena faktor inflasi kan jadi tidak naik," ungkap dia.
"Nah pemerintah nyangka nggak ada barang karena Bulog nggak dapat barang. Harga jadi mahal dan jatuhnya impor. Padahal berasnya ada tapi petani nggak mau kasih karena harga Bulog terlalu rendah," tambah Winarno lagi.
Ia mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan impor komoditi pangan seperti beras sangat menyakiti petani. Ia mengimbau agar pemerintah menghentikan kebijakan impor beras bila tidak ingin mendapat perlawanan dari petani. Bahkan Ia yakin petani saat ini tengah menyusun kekuatan besar bila pemerintah tetap memutuskan kebijakan impor.
"Kalau dilakukan impor lagi maka petani bisa marah. Marahnya petani itu tidak ribut tapi menghanyutkan. Sudah ada tanda-tandanya. Ya jelas berkaitan dengan politik di tahun politik," pungkas Winarno. [rmol]