Viral Foto Keluarganya Bercadar dan Bersorban, Ini Penjelasan Wiranto

Viral Foto Keluarganya Bercadar dan Bersorban, Ini Penjelasan Wiranto

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Foto keluarga Menko Polhukam Wiranto saat pemakaman cucunya, Ahmad Daniyal Al Fatih viral di media sosial. Pasalnya, dalam foto tersebut terlihat sejumlah anak dan cucu Wiranto ada yang memakai cadar serta ada pula yang bersorban. Menanggapi viralnya foto tersebut, Wiranto pun memberikan keterangannya.

"Sekarang ini pada saat cucu saya Ahmad Daniyal Al Fatih (alm) meninggal dunia, ibu, ayah dan kakak- kakaknya mengenakan busana muslim yang bercadar, bersorban, banyak masyarakat terkejut, media sosial ramai membincangkan tentang mereka. Ada yang senang dan ada pula yang mencerca dengan prasangka dan cara mereka. Bahkan mencoba menghubung-hubungkan dengan tugas dan jabatan saya sebagai Menko Polhukam," ujar Wiranto dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/11/2018).

Guna meluruskan tentang masalah tersebut, Wiranto pun menjelaskan sekilas tentang keluarganya dan prinsip-prinsip kehidupan yang dijalankan di keluarganya. Menurut Wiranto, prinsip kehidupan yang ia ajarkan didasari pengalaman hidupnya sebagai abdi negara, baik 32 tahun sebagai militer aktif maupun 18 tahun dalam politik dan pemerintahan.

"Dengan modal itu saya ajari mereka untuk merasa memiliki, mencintai, membela negeri ini dimanapun posisi mereka, apapun pekerjaan mereka karena disinilah kita dilahirkan, dibesarkan, dididik, mendapatkan kehidupan bahkan tempat peristirahatan yang terakhir," jelas Wiranto.


Wiranto mengaku mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai negara dengan cara masing-masing. Dia memberi kebebasan kepada anak-anaknya termasuk dalam berpakaian. Wiranto kemudian mengulang nasihat yang dia berikan ke anak-anaknya.

“Jangan campur adukkan agama dengan idiologi negara, jangan jual agama untuk kepentingan politik dan jangan jual agama untuk mencari keuntungan finansial. Dalami agama untuk bekal di akherat dan memberikan kebaikan bagi sesama, bangsa dan negara," kata Wiranto.

“Kamu boleh kenakan baju apa saja, selama kamu merasa nyaman tetapi yang penting janganlah penampilanmu hanya untuk pamer tentang ke-Islamanmu, karena kedalaman agamamu bukan diukur dari pakaianmu atau penampilanmu, tetapi akhlak dan perilakumulah yang lebih utama," imbuhnya.

Mantan Panglima ABRI itu mengaku memberikan kebebasan kepada keluarganya untuk melakukan apa saja sepanjang tidak keluar dari rambu-rambu kehidupan yang ia ajarkan.

"Saya selalu menekankan kepada mereka untuk berusaha memberikan kebaikan kepada negeri ini dan bukan malah merepotkan negeri ini," katanya.


Bahkan, Wiranto tak membenani anak-anaknya untuk menjalani profesi seperti yang dilakoninya.

"Saya beruntung pernah dipercaya menjadi Panglima ABRI/TNI tetapi tak seorangpun anak atau menantu saya mengikuti jejak saya sebagai militer, atau menjadi rekanan untuk pengadaan Alutsista. Saya mendirikan partai Hanura, namun tak seorangpun dari keluarga saya menjadi pengurus partai," kata Wiranto.

"Saya memang meminta dengan sungguh-sungguh kepada mereka untuk jangan sekali-kali memanfaat jabatan saya untuk kepentingan pribadi. Saya bersyukur sampai detik ini kami sekeluarga masih dapat mempertahankan komitmen itu," tambahnya.

Wiranto menjelaskan kebebasan untuk bersikap pernah dilakukan mendiang puteranya, Zainal Nurizky yang meninggal dunia pada saat belajar Al Qur’an di Afrika Selatan. Bahkan sama seperti sekarang, saat itu sebagian orang mengatakan bahwa anaknya menganut Islam radikal, masuk Islam garis keras, kader terorisme dan seterusnya.

Padahal, lanjut Wiranto dengan kesadarannya sendiri puteranya itu minta izin untuk keluar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) karena keprihatinan dan kesadarannya melihat perilaku sebagian generasi muda yang tidak lagi memiliki kepribadian yang tepuji.

"Dia mendalami Alquran untuk memantapkan akhlaq dan moralnya sebagai basis pengabdiannya kedepan nanti sebagai generasi penerus. Lewat internet, dia memilih tempat belajar Alquran yang bebas politik, Ponpes Internasional di wilayah Land Asia Afrika Selatan yang khusus untuk memantapkan pemahaman Alquran yang mengedepankan persaudaraan dan kedamaian, bukan sekolah teroris," papar Wiranto.

"Sayang sekali baru satu tahun belajar dari 7 tahun yang harus dijalaninya, dia meninggal disana karena sakit, disaat membaca ayat-ayat suci. Maka saat ada orang yang mencibir dan memfitnah, sayapun hanya tertawa, karena memang tidak perlu saya layani," tandasnya. [okz]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita