GELORA.CO - PT PLN (Persero) mencatatkan laba di Triwulan III 2018. Laba perusahaan tersebut meningkat 13,3 persen atau setara dengan Rp 9,6 triliun sebelum kurs rupiah mengalami pelemahan.
Berdasarkan data Laporan Keuangan PT PLN (Persero) Triwulan III 2018, angka itu meningkat dibandingkan dengan pencapaian serupa di tahun sebelumnya yang berkisar Rp 8,5 triliun.
"Kenaikan laba tersebut ditopang oleh kenaikan penjualan dan efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan serta adanya kebijakan pemerintah DMO (Domestic Market Obligation) harga batubara," ujar EPV Corporate Comunication PT. PLN (Persero), I Made Suprateka saat dihubungi, Rabu (31/10).
Made menjelaskan bahwa nilai penjualan tenaga listrik juga mengalami kenaikan sebesar 6,93 persen atau Rp 12,6 triliun. Tahun lalu angkanya hanya bertengger di Rp 181,8 triliun, kini naik menjadi Rp 194,4 triliun.
Hingga September 2018, volume penjualannya tumbuh 4,87 persen atau sebesar 173 Terra Watt hour (TWh) jika dibandingkan dengan tahun lalu yang berkisar 165,1 TWh.
"Perusahaan terus mempertahankan tarif listrik tidak naik, dalam rangka menjaga daya beli masyarakat dan agar bisnis serta industri semakin kompetitif guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional" ungkapnya.
Made juga menyampaikan bila saat ini jumlah pelanggan PLN pada triwulan III 2018 telah mencapai 70,6 juta atau bertambah 2,5 juta pelanggan dari akhir tahun 2017.
Hal tersebut berpengaruh pada kenaikan rasio elektrifikasi nasional dari 95,07 persen pada 31 Desember 2017 menjadi 98,05 persen pada 30 September 2018.
"Capaian rasio elektrifikasi ini telah melebihi target tahun 2018 yang dipatok sebesar 96,7 persen," jelasnya.
Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) harga batubara yang dikeluarkan pemerintah untuk sektor kelistrikan juga berjalan efektif.
Sesuai dengan komitmen PLN untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025, penggunaan listrik dari pembangkit energi terbarukan (renewable energy) juga semakin meningkat seperti dengan beroperasinya Wind Power Plant 75 MW di Sulawesi Selatan.
“Selain itu, perusahaan juga melakukan reprofiling atas pinjaman, sehingga didapatkan pinjaman baru dengan tingkat bunga yang cukup rendah dan jatuh tempo lebih panjang menjadi 10 hingga 30 tahun,” sambung Made.
Sejalan dengan kemajuan program 35 GW, maka sejak Januari 2015 sampai dengan September 2018 PLN telah menanamkan dana untuk investasi sebesar Rp 248 triliun. Pada periode yang sama peningkatan jumlah pinjaman hanya sebesar Rp 148 triliun atau 60 persen dari total investasi.
Dengan kata lain, sambung Made, kekuatan dana internal PLN masih memadai yaitu sekitar 40 persen atau Rp 100 triliun dari seluruh kebutuhan investasi tersebut.
Dia kemudian menjelaskan alasan PLN kemudian merugi dalam pelapran keuangan. Kerugian itu dikarenakan standar akuntansi yang berlaku dan hanya untuk keperluan pelaporan keuangan, yang mengharuskan pinjaman valas tersebut harus diterjemahkan ke dalam mata uang rupiah.
“Sehingga memunculkan pembukuan rugi selisih kurs yang belum jatuh tempo atau unrealised loss sebesar Rp 17 triliun. Padahal, sebagian besar pinjaman PLN baru akan jatuh tempo pada 10 hingga 30 tahun mendatang,” tukasnya.
Direktur Keuangan PLN, Sarwono menjelaskan bahwa laba PLN di tahun ini terkuras karena pelemahan nilai tukar rupiah. Sebab, acuan kurs yang ditetapkan PLN di awal tahun adalah sebesar Rp 13.800 dolar AS. Sementara, saat ini pelemahan rupiah yang sempat menyentuh angka Rp 15.200 per dolar AS.
"Jadi ini soal pembukuan saja. Kita tidak bisa mencatatkan laba,"jelasnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/10) lalu. [rmol]