GELORA.CO - Dua pesawat tempur TNI AU terpaksa mencegat (intercept) pesawat asing karena memasuki wilayah Kepulauan Riau (Kepri) tanpa izin dari Indonesia. Nyelenongnya pesawat asing itu mengingatkan kembali soal Flight Information Region (FIR) atau kontrol wilayah udara di Kepulauan Riau dan sekitarnya yang masih dikuasai oleh Singapura.
"Ini pesawat Royal Brunei, namun take off dari Singapura. Sipil komersial. Tidak punya FC (flight clearance)," ujar Kadispen TNI AU Marsma Novyan Samyoga saat dimintai konfirmasi detikcom, Kamis (1/11/2018).
Pengusiran pesawat asing itu terjadi di wilayah udara Kepulauan Riau (Kepri) pada Rabu (31/10). Dua pesat tempur TNI AU jenis Sukhoi Su-27/30 akhirnya diturunkan untuk mengusir pesawat asing tersebut.
Wilayah udara Kepri memang masuk dalam FIR 1 yang masih dikuasai oleh Singapura. Selain Kepri, FIR 1 menguasai wilayah udara Natuna. Pesawat Brunei bisa masuk ke wilayah Indonesia tanpa FC atas izin dari Singapura.
"Yang seenaknya melepas keberangkatan pesawat apa pun dari Changi, karena dia yang kontrol FIR," ujar Samyoga.
TNI AU juga mengingatkan Singapura, yang memberi izin pesawat itu tanpa koordinasi dengan pihak RI. Meski Singapura yang mengelola FIR, Samyoga mengingatkan soal FC yang harus dikantongi setiap pesawat yang melintas di wilayah udara RI.
"Tidak punya FC (flight clearance), nyelonong masuk ke wilayah kita. Ya di-intercept dan diusir!!" tegas Marsekal bintang satu itu.
"Enak saja masuk-masuk rumah orang," imbuh Samyoga.
Atas kejadian ini, ia kembali mengingatkan soal pentingnya pengambilalihan FIR 1 yang dikuasai Singapura. Samyoga meminta pihak-pihak terkait untuk benar-benar serius merebut pengelolaan FIR 1 dari negeri tetangga.
"Padahal itu wilayah kedaulatan RI. Makanya pengambilalihan FIR adalah keharusan," tuturnya.
Pada 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar FIR yang selama ini dikuasai Singapura segera diambil alih. Ia meminta kementerian terkait mempersiapkan peralatan dan personel untuk mengelola ruang udara yang dimaksud. Jokowi memerintahkan FIR diambil alih Indonesia 3-4 tahun sejak instruksi dikeluarkan.
"Makanya harus diingatkan. Kalau nggak, lupa tugasnya, terutama di Kemhub (Kementerian Perhubungan) dan Kemlu (Kementerian Luar Negeri)," sebut Samyoga.
Masalah FIR sejak lama telah menjadi kontroversi dalam hal kontrol wilayah udara di Indonesia. Dari 1946 hingga saat ini, FIR diserahkan kepada Singapura sesuai mandat International Civil Aviation Organitation (ICAO).
Ini terkait izin penerbangan pesawat berjadwal. Airlines yang melintas di seluas 100 nautical mile atau 200 km di wilayah udara Kepri harus melalui izin ATC Singapura, termasuk pesawat Indonesia. Penyebab Singapura berhasil menguasai ruang udara tersebut adalah Indonesia kala itu belum memiliki bandara. Sebenarnya usaha merebut kembali telah dilakukan beberapa kali, tapi selalu gagal karena ICAO merasa Indonesia belum cukup mampu dan kurang dalam infrastruktur.
Bukan hanya mengatur lalu lintas udara, mandat ICAO itu juga membuat Singapura berhak memungut fee dari seluruh maskapai yang melintasi FIR, termasuk maskapai negara selain Indonesia. Tarifnya dalam dolar Amerika dan besarnya berbeda-beda, tergantung jenis dan kapasitas pesawat. Namun fee itu juga harus dibagi kepada pemerintah pusat Indonesia.
Banyaknya pesawat yang melintasi wilayah tersebut, termasuk maskapai Malaysia, bisa membuat fee yang diterima Indonesia sangat besar andai tidak di-share dengan Singapura. Namun penguasaan ruang udara negara oleh negara lain menjadi keprihatinan karena seolah-olah, untuk masuk ke rumah sendiri, Indonesia harus izin kepada tetangga.
"Soal FIR, itu kunci masalahnya," tutup Samyoga. [dtk]